Menu

Disabilitas dalam Dunia Kerja dan Stigma yang Menghambat

23 Desember 2021 12:53 WIB

Yeni Rosa Damayanti, Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia. (Riana/HerStory)

HerStory, Bogor —

Beauty, dewasa ini, hampir di setiap negara fenomenanya perempuan dengan disabilitas jadi kelompok paling termarjinalkan dalam sisi akses terhadap pekerjaan. Tantangan inklusi dalam dunia kerja ini masih menjadi catatan khusus yang perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak terkait.

Dibutuhkan penyelarasan antara kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, kebutuhan sumberdaya manusia yang dibutuhkan oleh penyedia atau pemilik lapangan kerja, dan kesiapan serta kemampuan dari tenaga kerja difabel itu sendiri.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Hak Penyandang Disabilitas, kebijakan dan perlindungan bidang pekerjaan untuk masyarakat disabilitas sendiri telah diatur secara baik. Namun kenyataannya, dalam proses pengaplikasiannya di lapangan, masih banyak kendala dari kedua belah pihak, antara pemilik lapangan kerja dan calon tenaga kerja disabilitas. Sehingga dirasakan belum mampu terpenuhi secara maksimal.

“Jadi memang cukup menyedihkan ya kondisi bekerja bagi penyandang disabilitas di Indonesia. Berdasarkan data, terlihat bahwa insecure-nya posisi penyandang disabilitas dalam dunia kerja dan dunia bisnis di Indonesia. Sangat tidak secure. Terlebih, jumlah perempuan disabilitas yang bekerja di Indonesia itu sangatlah sedikit,” tutur Yeni Rosa Damayanti, Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia (PJSI), saat sesi Webinar Series on Business and Human Rights “Satu Dekade UNGPs on BHR: Bagaimana keadaan Perempuan Disabilitas di Indonesia saat ini?” yang digelar oleh INFID, sebagaimana dipantau HerStory, Rabu (22/12/2021).

Lebih lanjut, Yeni pun mengatkan bahwa penyandang disabilitas utamanya memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk dipandang sama di dunia kerja. Meski begitu, di tengah keterbatasan mereka, tetap saja ada tantangan atau kendala yang dihadapi khususnya di tempat kerja.

“Ya, mereka masih mengalami hambatan even saat melamar kerja. Seperti banyak perusahaan yang tak menerima penyandang disabilitas, kemudian sedikitnya lowongan yang bisa diisi oleh penyandang disabilitas, dan hanya ada posisi-posisi yang terbatas bagi penyandang disabilitas. Jadi maaf, kalaupun ada, biasanya hanya menyediakan lowongan, posisinya itu terbatas yang bisa diisi oleh penyandang disabilitas. Seperti operator telepon aja misalnya,” terang Yeni.

Tak cuma itu, lanjut Yeni, hambatan lainnya adalah pemberi kerja kerap mensyaratkan ijazah formal bagi para pencari kerja.

“Nah, masalah lain yang dihadapi penyandang disabilitas adalah tak memiliki ijazah formal. Sedikit sekali bahkan yang memiliki ijazah formal. Dan tanpa ijazah formal ini sulit untuk mereka bekerja. Padahal banyak disabilitas yang memiliki kemampuan walaupun tidak memiliki ijazah formal. Banyak yang jago komputer bahkan bisa pemprograman. Mereka banyak yang belajar sendiri di tengah kesulitan aksesibilitas, itu menyebabkan mereka kreatif dan kemudian belajar sendiri tanpa melalui pendidikan formal,” terang Yeni/

Hambatan lain, kata Yeni, juga terkait dengan tes seleksi, yakni tempat atau tes yang tidak aksesibel, serta harus adanya surat keterangan sehat jasmani dan rohani.

“Surat keterangan sehat jasmani dan rohani ini bisa dibilang jadi hambatan besar bagi penyandang disabilitas, khususnya penyandang disabilitas mental. Kenapa? Karena untuk mendapatkan surat ini harus dilakukan serangkaian tes. Tes ini bertujuan antara laun untuk melihat jejak masalah kejiwaan dari orang-orang yang di tes. Kemudian, tes ini dilanjutkan dengan pemeriksaan oleh psikiater. Jadi kalau orang punya masalah kejiwaan, langsung gak bakal dapat surat itu,” tutur Yeni.

Selain itu, ungkap Yeni, hambatan lain yang kerap dialami penyandang disabilitas juga datang saat mereka bekerja. Seperti, transportasi ke tempat kerja tidak aksesibel, gedung atau lokasi tempat kerja juga tak aksesibel, adanya diskriminasi dalam kenaikan posisi/jabatan, tidak ada akomodasi yang layak, serta pemecatan pada saat ketahuan memiliki disabilitas mental.

“Tantangan terbesar di tempat kerja juga adalah menghadapi stigma yang ada di antara rekan kerja. Ketika berhadapan dengan disabilitas, karyawan mungkin cenderung punya sikap merendahkan. Karenaya, edukasi dan kesadaran dalam organisasi adalah solusi untuk situasi seperti itu. Membuat karyawan sadar bahwa disabilitas punya tantangan unik dan mereka istimewa. Sehingga bisa menciptakan suasana kerja yang ramah,” tandasnya.

Lantas, bisakan stigma mencegah ketenagakerjaan?

Menurut Yeni, jawabannya iya. Stigma memang mencegah orang dengan disabilitas mental untuk mendapatkan pekerjaan. Orang dengan kondisi kesehatan mental, kata Yeni, biasanya dianggap bertanggung jawab dan disalahkan atas perilaku dan gejala yang mereka alami.

“Secara bersamaan, mereka dianggap tidak mampu membuat keputusan untuk diri mereka sendiri. Hal ini menyebabkan orang dengan kondisi kesehatan mental dianggap ‘tidak cocok’ untuk dunia kerja. Nah, hal ini tentu dapat menghambat kemampuan mereka untuk berkembang seperti orang tanpa disabilitas. Beberapa hal tersebut tentu menambah kerentanan yang dihadapi oleh perempuan dengan disabilitas,” ujarnya.

Terkait beberapa masalah dalam dunia kerja para penyandang disabilitas, Yeni mengatakan bahwa akomodasi mengharuskan penyandang disabilitas untuk mendeklarasikan kedisabilitasannya, padahal seharusnya tidak perlu.

Menurutnya, ketika seseorang membutuhkan akomodasi di tempat kerja mereka, mereka mungkin takut kehilangan pekerjaan atau distigmatisasi jika mereka mengungkapkan kondisi kesehatannya. Ini adalah kenyataan bagi jutaan orang yang hidup dengan disabilitas.

“Para pekerja penyandang disabilitas ini harusnya mendapatkan aksesibilitas dan akomodasi yang layak. Aksesabilitas adalah sarana struktural untuk mencapai partisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat atas dasar kesetaraan, disediakan secara otomatis, berlaku secara universal, agar penyandang disabilitas bisa berpartisipasi penuh dalam masyarakat. Sementara, akomodasi yang layak adalah berbagai bentuk penyesuaian individual bagi individu penyandang disabilitas, diberikan setelah diminta, dalam bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan ragam disabilitasnya. Dan, penyesuaian ini harus masuk akal atau reasonable,” terangnya.