Menu

Duduki Posisi Direktur AXA Financial Indonesia, Ini Jejak Sukses dan Stigma yang Dipatahkan Cicilia Nina Triana: Role Modelnya, Mama!

28 Maret 2022 07:53 WIB

Cicilia Nina Triana, Direktur AXA Financial Indonesia. (Dok. Pribadi/Edited By HerStory)

HerStory, Jakarta —

Beauty, kaum hawa saat ini tak bisa lagi dipandang sebelah mata. Sejak era emansipasi, perbedaan gender sudah tak berlaku lagi untuk dibicarakan dalam dunia profesional. Ya, tak sedikit kini wanita yang punya keahlian dan kemampuan layak, bahkan telah menduduki posisi di level atas di sebuah perusahaan. Tak tanggung-tanggung, jabatan tinggi sekelas Direktur pun sudah jadi hal yang biasa.

Nah, kehadiran serta peran para wanita di posisi manajemen perusahaan juga semakin dibutuhkan untuk membawa sudut pandang dan solusi yang berbeda terutama di kondisi sulit saat ini, sehingga perusahaan tak hanya survive, namun terus tumbuh.

Dan, salah satu sosok wanita Indonesia yang brilian dalam posisi kepemimpinan ituadalah Cicilia Nina Triana yang kini menjabat Direktur yang membawahi bagian Customer dan Marketing di salah satu perusahaan asuransi besar di Indonesia, AXA Financial Indonesia.

Namun, tentunya bukan hal mudah bagi Nina, sapaan akrabnya, untuk mencapai posisinya sekarang. Tuntutan pekerjaan, segala hambatan dia jadikan sebagai tantangan.

Lantas, seperti apa perjalanan karir Nina sampai ke posisi Direktur sebuah perusahaan asuransi internasional besar seperti saat ini?

Background kuliah yang saya ambil dulu sebenarnya gak nyambung ya dengan pekerjaan saya saat ini. Saya kuliah di IPB ambil fakultas Ekonomi, ambil Agribisnis. Tapi memang, interest saya itu lebih ke talk to other people. Setelah lulus tahun 1993, saya lalu mendapatkan tawaran kerja di bank selama hampir 5 tahun, tapi kemudian bank tempat saya kerja mengalami likuidasi. Dan ketika bank tempat kerja dilikuidasi, saya tidak pernah terpikir sedikitpun untuk bekerja di bidang asuransi,” tutur Nina, saat berbincang dengan HerStory, baru-baru ini.

Selepas bank tempat kerjanya pailit, kata Nina, ia pun lantas mencoba masuk ke bidang asuransi. Menurutnya, bidang pertama yang ia tekuni di asuransi adalah terkait dengan development.

“Karena balik lagi mungkin call saya adalah seorang trainer. Walaupun waktu di bank saya masih pemalu, tapi seneng banget kalau disuruh berbagi. Jadi berawal dari development di tahun 2001 di sebuah perusahaan asuransi joint venture juga kemudian saya menggeluti bisnis agency. Bermodal cinta akan pekerjaan akhirnya menyanyangi agency, sampai tahun 2008 saya pindah ke AIA, waktu itu namanya masih AIG. Di situ saya juga menjabat sebagai head of training, saya mendirikan dan melakukan transformasi, dan mendirikan yang sebutnya waktu itu AIG Business Academy. Karena saya melihatnya training itu bukan melulu hanya training and development tapi merupakan bisnis akademi,” beber Nina.

Nina mengatakan, selama ini orang seringkali menganggap bahwa training hanya melulu berhubungan dengan education. Ia pun beranggapan, dalam melakukan bahwa education ini harus ada muara akhirnya. Sehingga di AIA kala itu, ia mengawinkan antara bisnis itu sendiri dan akademi. Karena menurutnya, dalam membangun sebuah bisnis people development, growth it professionally and professionalism is very important dan very essensial.

“Nah berangkat dari situ saya mengawali karir di bidang asuransi itu dari bener-bener nol, ngajar sana, ngajar sini sampai kemudian mendapatkan cukup banyak followers. Dan saya seneng banget untuk membuat progress di dalam hidup saya dari yang asalnya megang training doang, kemudian dipercaya megang activating, karena di sales itu suka gini, kalau sales itu bagus capai target, orang gak akan pernah bilang itu karena training-nya. Yang ditepokin ya sales-nya. Tapi ketika sales itu jelek, orang selalu nunjuk ‘trainer-nya gimana sih’. So, pada saat itu saya berniat dengan apapun yang saya miliki, saya mencoba ‘menjual’ sebuah training ini bukan hanya sebagai ajang yang di-blame tetapi sebagai ajang yang memiliki kontribusi besar,” beber Nina.

Selang menggeluti dunia training, Nina pun akhirnya pindah ke bagian activating. Di situ ia membuktikan bahwa ilmu yang dipelajari dan diimplementasikannya mendapatkan rating rasio keberhasilan lebih tinggi daripada sekedar ‘jualan’ pakai feeling.

“Sehingga saya menekuni bidang aktivasi, mengubah suatu perusahaan tersebut dari yang tadinya MDRT (gelar tertinggi di bidang asuransi) itu tadinya hanya punya 27 sampai bertumbuh jadi 400-an MDRT, dan pada saat itu kebetulan di perusahaan saya sebelumnya mereka sangat fokus dengan MDRT dan menjadi part of contributor nomer satu MDRT di dunia. Dimana saya part of untuk MDRT di Indonesia. Saya terlibat voluntary tidak dibayar di luar pekerjaan saya di organisasi MDRT ini. Sampai kemudian setelah saya aktif di activation, saya kemudian pindah dalam dalam rekruitmen dan juga penjualan. Jadi mulai melakukan perekrutan dan di tahun 2014 saya bener-bener shift 100 persen ke sales di perusahaan yang lama dengan posisi Deputy GM,” terangnya.

Lebih lanjut, Nina pun mengaku, saat dirinya berada di posisi yang sedang lagi bagus-bagusnya, dan ia enjoy dengan hal itu, kemudian sekitar tahun 2018 ia pun mendapatkan tawaran dari AXA Financial Indonesia.

“Sebenarnya, sih kalau agak sedikit mundur, AXA Financial Indonesia ini sudah meminang saya beberapa kali. Tapi aku jawab ‘ntar dulu deh’. Beberapa kali ditawarin, tapi masih saya tolak. Nah baru di tahun 2018 itu, AXA Financial Indonesia datang lagi, tapi menawarkan sebuah posisi yang menarik menurut saya, yaitu sebagai Direktur. Tapi, saya tipikal orang yang gak mau diberikan posisi begitu aja. Saya ngukur diri sendiri dulu, ‘pantes gak saya jadi Direktur’. Dan saat itu saya mendapati, kayaknya perlu saya ambil nih offer opportunity ini. Karena saya melihat usia saya saat itu sudah 48 tahun, dan saya melihat posibilty-nya kalau saya terus di perusahaan yang lama, berapa lama kans saya masuk ke jenjang directorship, sementara saya di sini saya mendapatkan given, dari yang saya sudah earn. Dan tantangan itu saya dapet di tahun 2018, dan saya menyampaikan kepada orang yang memberikan challenge itu kepada saya, bahwa saya akan melakukan yang terbaik,” papar Nina.

“Kalau dibilang cepet untuk some people, saya perlu gratefull karena ini consider cepet. Karena saya liat teman-teman selevel saya yang punya kapasitas belajar seperti saya pun masih di level jauh, jadi di sisi lain saya perlu bersyukur,” sambung Nina.

Sejak bekerja di AXA Financial Indonesia, Nina mengaku tak sedikit pun mengalami diskriminasi gender, baik dalam hal pemberian kesempatan untuk pengembangan karir atau capability maupun dalam pengakuan terhadap achievement. Namun, jauh di perusahaan yang sebelumnya, Nina mengaku pernah mendapatkan , Nina mengaku pernah mendapatkan pengalaman tak mengenakan, terkait dengan gender-nya sebagai wanita.

Beruntungnya di AXA Financial Indonesia ini aku enggak merasakan itu (diskriminasi gender). Tapi memang itu pernah terjadi di perusahaan lama sebelum AIA  Kebetulan saat ini, leader aku itu pria. Jadi di perusahaan lama itu, aku secara karir bagus, tapi aku tidak pernah ada di hatinya atau tak dianggap oleh si leader itu. jadi aku merasa secara kualitatif itu dia lebih menyukai si A-B-C. Terus aku coba cari tahu apa sih yang kurang dari aku. Dan akhirnya other people yang menjawab. Other people itu mengatakan bahwa ‘Nina, kesalahan kamu ada tiga, yaitu kamu perempuan, kedua kamu perempuan, yang ketiga kamu tuh perempuan’,” cerita Nina seraya tertawa.

Terkait hal itu, Nina mengaku tak sakit hati, hanya saja kejadian itu membuka matanya bahwa ternyata masih ada orang menilai segalanya dari gender.

“Nah gara-gara dia bilang begitu aku membuka mata ‘oh masa sih gitu’. Cuma buat aku waktu itu ya nggak jadi masalah, lebih baik berbenah. Karena aku selalu percaya, ketika kita kerja bagus, pasti kita akan dapat impact yang bagus juga. Palingan problemnya kita di-time, dan aku tipikal orang yang kerja itu aku enjoy dulu, duit dan posisi itu nomor dua,” ujarnya.

Di AXA Financial Indonesia sendiri, kata Nina, proporsi pekerja wanitanya lebih banyak dari pada pria. Di bidang directorship, ketiga kursi Director semuanya diduduki kaum hawa. Keren!

“Dan kalau secara data, employee AXA Financial Indonesia juga 64 persen itu wanita. Di level leader, dalam hal ini manager ke atas sampai head, 55 persennya juga AXA Financial Indonesia. Dan, kemudian talent managemen-nya juga 53 persen itu wanita. Hal ini menunjukkan bahwa AXA Financial Indoensia mendukung para karyawan wanita memiliki kesempatan berkarier dan menduduki posisi top management. Untuk mendukung pengembangan para karyawan wanita, AXA Financial Indoensia juga secara aktif menggelar kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas mereka baik secara personal maupun profesional,” beber Nina.

Nina juga bilang, tak hanya mengedepankan kesetaraan gender, AXA Financial Indoensia juga memiliki inisiatif perusahaan yang mengutamakan pengembangan diri karyawan melalui ekosistem kerja dan kegiatan karyawan berkelanjutan.

“Kami percaya bahwa setiap karyawan berhak untuk mengembangkan karier secara personal dan profesional dengan mengedepankan asas kesetaraan, keberagaman dan persamaan hak bagi setiap karyawan,” bebernya.

Gak berhenti di situ, guna lebih mendukung kesetaraan gender, AXA Financial Indonesia pun memiliki kebijakan khusus yang berbeda dari perusahaan lainya. Seperti apa?

“Nah ini juga menarik karena di sepanjang aku kerja, baru di AXA nih untuk maternity leave itu 4 bulan. Dan menariknya lagi, prianya bisa mengambil cuti 1 bulan kalau istrinya melahirkan. Ini keren banget, di tempat lagi kan cuma 3 bulan. Jadi ini bentuk penghargaan untuk pekerja wanita yang luar biasa yang buat aku berbeda,” papar Nina.

Nah, selama mengemban tugas untuk memerhatikan kebutuhan pekerja di AXA Financial Indonesia ini, Nina mempunyai kiat-kiat tersendiri dalam memimpin. Ia pun memiliki gaya kepemimpinan yang ‘tak biasa’, yakni menganut gaya friendship leadership.

“Kalau ditanya gaya leadership yang aku anut, aku menerapkan friendship leadership. Selama ini mungkin leader itu adalah leader, orang yang memimpin dan team yaitu orang yang dipimpin. Jadi ada gap.Sementara buat aku sendiri, hal seperti itu buat aku nggak nyaman. Di dua sisi itu nggak nyaman. Orang yang kita pimpin nggak nyaman, kita yang memimpin juga nggak nyaman, untuk kitanya yang memimpin. Itu alasannya aku terapkan friendship leadership,” jelasnya.

Nina mengaku, dirinya ingin menjadi role model buat timnya sendiri, sekaligus ingin menjadi teman untuk timnya itu.

“Tapi disatu sisi aku juga pengen menjadi individu yang cukup profesional buat mereka. Banyak leader yang merasa takut ketika dia menganggap tim-nya teman, nanti timnya jadi ngelunjak, dia takut dia ga bisa dihormati. Saya sendiri gak mempersalahkan itu. Yang penting kita tahu porsinya masing-masing. Kita harus membangun perusahaan ini bersama-sama. Dan ketika kita bicara secara helicopter view, friendship leadership ini menurut saya akan memberikan value lebih, karena dia akan respect ke kita karena respect, bukan karena dia takut,” bebernya.

Kemudian, dengan pesatnya kemajuan teknologi dan tuntutan pasar, dunia asuransi pun kini menjadi sangat kompleks. Kata Nina, hal itupun mengharuskan dirinya untuk siap menghadapi berbagai macam tantangan. Lantas, bagi Nina sendiri, suka duka bekerja di dunia asuransi ini apa saja ya?

“Sebenarnya kalau bicara suka dukanya lebih banyak sukanya. Secara overall sukanya adalah bisnis asuransi itu adalah bisnis people. So buat saya, bertemu dengan people ini adalah sebuah pembelajaran, termasuk dengan bertemu dengan difficult people. Dan saya itu tipe orang yang sangat suka belajar, jadi nggak harus dari atasan, tapi bahkan dari tim saya, dari nasabah, saya lebih banyak belajar. Jadi saya merasa di bisnis asuransi ini makin hari saya makin penuh dengan value seperti itu. Dan itu yang membuat saya maunya pengen muda terus,” papar Nina.

“Kalau dukanya itu lebih kepada tadi karena orang belum mengerti secara benar apa itu asuransi. Karena asuransi itu adalah sesuatu yang sifatnya emosional, berhubungan dengan orang yang sakit, dll, sehingga orang-orang di posisi seperti itu emosionalnya terkadang tidak dalam kondisi stabil. Sehingga kalau dia marah, marahnya itu luar biasa. Nah ini kalau kita nggak punya kekuatan mental itu bisa akan menyerang mental health,” lanjut Nina.

Terkait mental health sendiri, Nina mengaku pernah mengalami hal itu. Menurut Nina, siapapun bisa mengalami gangguan kesehatan mental, termasuk dirinya sendiri. Nina mengaku, kesehatan mentalnya terganggu saat tempat kerjanya dulu dilikuidasi.

Nina bilang, seseorang bisa mengalami gangguan kesehatan mental jika orang tersebut berekspektasi terlalu tinggi terhadap suatu hal. Sehingga, saat semuanya tak berjalan seperti yang dipikirkan, orang tersebut akan merasa begitu kecewa. Padahal dia sendirilah yang membangun ekspektasi itu terlalu tinggi.

“Semakin saya belajar ke sini, kenapa orang bisa sampai kena mental health, balik lagi karena ekspektasinya itu tadi. So that’s why, saya banyak merenung. Jadi, balik lagi bagaimana kita me-manage how expectation kita sendiri. Kenapa saya bisa kena mental health? Balik lagi karena ekspektasi aku sendiri. Aku tidak inspect what i expect. Ditambah lagi dengan surrounding kita,” beber Nina.

Menyoal mental health ini, di AXA Financial Indonesia, Nina akhirnya ‘mengkampanyekan’ ilmu yang pernah ia dapat, namanya influencer.

Influencer ini bagus banget mungkin ini sedikit keluar dari topic, jadi influencer ini mencoba melakukan disosiasi dan asosiasi atas diri kita atas semua konsep tentang kita. Dulu orang selalu berpikir, kamu bagus karena kamu. Jadi orang hanya melihat ke diri kita.Tetapi along the way saya belajar bahwa ada lho orang yang sudah fokusnya bagus, belajar bagus, kok enggak sukses juga ya kenapa? Nah di influencer itu dipelajari. Jadi selain personal motivation dan personal capability, orang itu perlu yang namanya habitat. Nah habitat inilah yang kita sebut sebagai social motivation dan social capability. Nah somehow, orang bagus di taruh di habitat yang nggak bagus, bisa jadi jelek. Tapi sebaliknya orang jelek ditaruh di habitat bagus bisa jadi bagus,” beber Nina.

“Jadi yang saya bilang tadi orang yang mentalnya bagus pun bisa kena mental health efek dari social motivation dan social cappaility ini. So be carefull dengan siapa kamu bergaul, So be carefull dengan siapa kamu punya mentor, So be carefull dengan siapa kamu punya bestfriend. itu sangat sangat penting. Dan itu pun bisa diimplementasikan ke dalam kehidupan kita sebagai ibu dan sebagai wanita karir,” sambung Nina.

Lantas menurut Nina, bagaimana cara kita memelihara mental health? Dikatakan Nina, selain harus ‘pintar’ memilih habitat yang disebutnya sebagai social motivation dan social capability, kita juga perlu yang namanya structure motivation dan structure capability.

“Ada orang yang area sosialnya oke juga kok merasa belum maksimal, kita perlu satu lagi namanya adalah structure motivation dan structure capability. Structure motivation itu bentuknya bisa healing. Tapi hati-hati juga, structure motivation yang too much itu akan menjadikan kita addict. Lalu, kita juga perlu yang namanya structure capability. Ini adalah ukuran atau takaran, kalau saya mengukurnya dengan seize our day. Hari ini aku tiap pagi aku bangun baca doa, aku bilang thank you Tuhan buat hari ini dan harusnya hari ini lebih baik dari kemarin. Jadi intinya, yang membuat mental health kita ter-attack, ya karena kita terlalu tinggi berekspektasi, jadi ibaratnya gini cita-cita itu setinggi langit, tapi kakinya gak napak ke tanah,” beber Nina.

Lebih lanjut, Nina pun kerap memberikan waktu sejenak untuk diri sendiri atau me time yang dirasanya juga penting untuk kesehatan dan kesejahteraan mentalnya. Selama ini mungkin ada salah kaprah bahwa menghabiskan waktu untuk diri sendiri itu diasosiasikan harus dengan sendiri. Ada juga orang yang merasa bersalah karena meluangkan waktu sendirian yang semestinya diluangkan dengan orang terkasih. Padahal, kata Nina, me time sejenak penting bagi tubuh dan baik untuk menjaga kesehatan mental.

“Bagi aku sendiri, me time-nya termasuk receh ya. Sekedar upload foto di media sosial, pergi spa, nonton Netflix, aku udah seneng banget. Buat aku sendiri, aku selalu bilang ke tim, pastikan bahwa kamu bahagia dulu, omong kosong ya menurut aku kalau kita ingin memberikan kebahagiaan tapi kita sendiri gak bahagia. So, me time buat aku minta adalah how to make me happy,” tutur Nina.

Dan, meski telah sukses menjadi pemimpin wanita, Nina nyatanya tetap bisa menyeimbangkan antara karir dan keluarganya. Karena menurut dia, menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga sangatlah penting. Namun yang mesti digarisbawahi, kata dia, arti ‘menyeimbangkan’ di sini, jangan melulu hanya ‘menyudutkan’ si wanitanya sendiri. Sang pria, dalam hal ini suami, pun perlu melakukan hal serupa.

“Ini seru nih, menyeimbangkan karir dan keluarga banyak orang yang mempertanyakan hal itu. Buat aku pribadi, kalau kita bekerja dengan hardwork, dengan heartwork, itu otomatis akan seimbang menurut aku. Karena gini, ketika kita berkarir dan karir kita bagus kita bawa pulang uang yang bagus, yang happy siapa, keluarga. Bagi aku, bagaimana menyeimbangkannya? tidak pernah ada kata seimbang yang balance, tetapi unbalance ini akan mem-balance area lain tentunya. Contoh, aku gak punya waktu yang banyak untuk anakku, tapi aku punya karir yang bagus sehingga bisa memberikan yang terbaik untuk anakku. Jadi, dia punya quality life yang bagus juga. Dengan didikanku yang seperti itu anakku juga bukan menjadi anak yang manja bukan menjadi anak yang merengek-rengek yang minta mamanya selalu temenin dia. Mungkin waktu buat dia itu cuman 2 jam sedangkan waktu aku untuk kerja itu bisa 14 jam tapi dia nggak cemburu karena aku bisa mengakuisisi itu dengan bentuk yang lain,” paparnya.

“Namun, seringkali wanita itu merasa bahwa keseimbangan hidup itu adalah 50% untuk keluarga dan 50% untuk kerja. Nah balik lagi kita sebagai wanita di rumah, di karir pun kita harus semua edukasi surround kita, meng-educate suami kita untuk mengerti kita juga. Jadi, balance itu nggak akan pernah sampai balance kalau hanya kita satu sisi yang mem-balance–kan. Kita mencoba balance tapi suami kita pernah balance, setengah mati kan itu susahnya,” sambung Nina.

Lalu, saat disinggung mengenai stigma apa yang ingin ‘dipatahkannya’ sebagai woman leader sukses nan inspiratif, Nina pun punya jawaban yang sangat-sangat menarik nih, Beauty

“Kalau stigma yang ingin aku patahkan pertama, bahwa ada orang yang mengatakan semakin tinggi posisi, semakin sepi hidup kamu. Itu yang ingin aku patahkan, karena enggak kok kenyataannya. Semakin tinggi posisi justru kita bisa merangkul lebih banyak, dan itu happy banget. dan aku bisa melihat anak-anak atau tim aku sekarang bisa bertumbuh. Itu hadiah terindah ketika bisa melihat orang bertumbuh dalam kehidupannya,” imbuh Nina.

Stigma kedua yang ingin diubah Nina adalah terkait ungkapan ‘wanita kerap dijajah pria sejak dulu’. Menurutnya, justru saat ini ada fenomena yang juga lebih ironis. Yakni, kebiasaan ‘menjatuhkan’ sesama wanita.

“Stigma kedua yang mau aku benerin adalah, ada stigma yang mengatakan bahwa wanita dijajah pria sejak dulu, itu bohong! Karena sekarang justru banyak wanita malah dijajah oleh sesama wanita juga. Karena itulah ini tugas kita lah untuk tadi jangan sampai ada layangan putus, tapi jadilah layangan tangguh,” ujar Nina.

“So be carefull juga wahai wanita-wanita Indonesia, jangan kita selalu pointing kesetaraan gender doang, somehow kita menempatkan diri kita sendiri di posisi yang tidak setara. Jadilah wanita yang punya toughlove, have heart, head dan hardwork sehingga orang melihat kita bukan karena gender kita, tapi orang melihat kita karena kita. dan kebetulan di AXA saya melihat leader saya membangun diversity and inclusion dan khususnya wanita,” imbuh Nina.

Lalu, stigma ketiga yang ingin ‘dipatahkan’ Nina adalah dalam hal meng-handle customer.

“Karena aku sekarang di bidang marketing, meng-handle customer, ada yang bilang bahwa customer adalah raja. So aku pengin juga kita memintarkan nasabah, walaupun nasabah itu di dengar voice-nya, tapi jangan juga menjadi nasabah yang pemarah,” kata dia.

Kemudian, saat disinggung terkait role model yang berpengaruh terhadap kesuksesnya hidupnya, Nina dengan lantang menjawab, Mama!

Sampai hari ini aku mengidolakan mamaku. Karena sebagai wanita, dia yang fight aku. Dia sekarang jadi IRT. Pernah bekerja sebelum menikah. Tapi dia begitu pintarnya mengatur keuangan. Dia belajar untuk menjadi wanita yang bisa membantu keuangan keluarganya yang pas-pasan jadi luar biasa. Dia itu begitu tangguh, dia melakukan apapun. Dagang ini, dagang itu. Masih bisa bantu Gereja. Dan dia menjadi wanita yang mengabdikan dirinya untuk suami to the max,” papar Nina seraya tersenyum.

Terakhir, Nina pun memberikan pesan untuk seluruh wanita di Indonesia agar bisa meraih kesuksesan seperti dirinya. Apa ya?

“Secara overall, aku ingin berpesan kepada wanita-wanita Indonesia, jadilah wanita yang pintar, jadilah wanita yang baik hati, dan jadilah wanita yang bijaksana. Kok susah banget sih, harus ketiganya ya ?. Nah, kalau harus memilih dari 3 itu aku lebih memilih jadi orang yang baik hati. Karena, ketika kamu berbaik hati, kamu akan berbaik hati pada diri kamu sendiri, untuk terus meng-upgrade diri kamu sendiri. Ketika kamu berbaik hati kamu bisa deal dengan orang yang paling menyakiti hatimu sekalipun. Ketika kamu berbaik hati, langkah kamu akan menjadi mudah. Somehow kita terlalu pintar, tapi hati kita menjadi tidak baik juga akan mengganggu mental health dan the whole person-nya kita,” pungkas Nina seraya tersenyum.

Nah Beauty, itulah kisah sukses seorang Cicilia Nina, semoga menginspirasi kamu ya!