Ibu-ibu menuntut keadilan demi bertemu anak (Istimewa)
Pada gelaran yang sama, dihadirkan juga ibu-ibu yang mengalami Parental Abduction dan masih menunggu keadilan dengan harapan bisa bertemu dengan sang anak, salah satunya adalah Angelia Susanto.
Ia kehilangan sang anak, EJ yang diambil paksa oleh ayahnya yang merupakan WNA Filipina sejak tahun 2020. Bahkan, saat kejadian tersebut terjadi, suaminya dibantu oleh oknum polisi yang sampai sekarang belum bisa ditemukan.
EJ diduga diselundupkan ke luar negeri tanpa dokumen yang sah. Meskipun sudah melapor ke 14 lembaga negara dan LSM, termasuk Kedutaan Besar Filipina, belum ada tindakan dan hasil yang nyata.
Bahkan setelah status Tersangka dan Daftar Pencarian Orang (DPO) dikeluarkan oleh Polda Metro Jaya 2 tahun yang lalu terhadap mantan suami dan penculik EJ, sampai sekarang setelah 5 tahun berjalan, belum ada kejelasan mengenai investigasi penemuan lokasi EJ.
Yang lebih ironisnya lagi, sama sekali tidak ada kabar maupun komunikasi mengenai EJ dari mantan suami maupun keluarganya yang tiba-tiba menghilang sehingga Angelia bahkan tidak tahu dimana EJ berada dan bagaimana keadaannya.
Alhasil, status memegang hak asuh inkracht pun sia-sia karena pada kenyataannya anak tunggalnya diculik di tengah jalan begitu saja. Bahkan mantan suami, WNA Filipina, menculik EJ walaupun bukan pemegang hak asuh, sama sekali tidak mengacuhkan Hukum Indonesia dan keputusan pengadilan.
Hal serupa juga dialami oleh Anlita. Bahkan, ia mengalami KDRT berulang, bahkan di tempat umum, dari mantan suami dan mertua. Ia bahkan tak bisa bertemu anaknya karena sudah diambil paksa dan tak diberikan akses sama sekali. Lebih parahnya, sang suami yang sudah menyandang status tersangka juga dibiarkan begitu saja dan tak dilakukan penahanan.
Dijelaskan oleh Trisya Suherman selaku Ketua Umum Moeldoko Center, masih banyak sekali ketidakadilan yang dialami oleh perempuan khususnya di Indonesia terutama dalam kasus Parental Abduction.
Berdasarkan data laporan yang diterima Komnas Perempuan di tahun 2019-2023, ada sepertiga atau 93 dari total 309 kasus kekerasan yang dilakukan oleh mantan suami (KMS) terkait pengasuhan anak untuk pereutan hak asuh.
Sementara itu, jika kita lihat lebih jauh dalam menuntut hak atas pengasuhan anak, perempuan kerap menjadi korban penundaan keadilan (delay in justice) tentu ini menjadi fenomena yang perlu menjadi perhatian kita bersama khususnya pemerintah dan penegak Hukum.
Trisya menjelaskan bahwa biasanya pelaku Parental Abduction adalah pihak yang sering melakukan KDRT.
"Mereka bahkan tidak mempedulikan bahwa pihak korban justru adalah yang memiliki hak asuh secara hukum. Bagaimana orang yang seperti ini, jelas-jelas sering melakukan kekerasan bahkan pada orang terdekatnya, dan tidak peduli hukum bisa dibiarkan merebut, mengasuh dan membesarkan anak-anak yang suci murni? Dan bagaimana Ibu menjadi tidak sangat khawatir?”, pungkasnya.
Ketinggalan informasi bikin kamu insecure, Beauty. Yuk, ikuti artikel terbaru HerStory dengan klik tombol bintang di Google News.