Menu

Cak Nur dan Ceritanya Soal Perjuangan Kesetaraan Gender

26 Agustus 2020 15:00 WIB
Cak Nur dan Ceritanya Soal Perjuangan Kesetaraan Gender

Ilustrasi Nurcholish Madjid (Geotimes/Edited by Herstory)

HerStory, Jakarta —

Beauty, apakah kamu mengenal Nurcholish Madjid (Cak Nur)? Beliau adalah Bapak Pemikiran Islam Modern yang sudah wafat, (29/08/2020), dan mempunyai pandangan penting soal isu gender. Ternyata ada beberapa hal yang bisa dipelajari dari pandangan Cak Nur terkait isu feminisme dan gender, lho.

Dilansir dari sebuah jurnal Titik-Temu Vol. 1, No. 1, 2008 tentang pandangan Cak Nur soal gender, Dr. Budhy Munawwar Rahman, salah seorang murid paling dekat dengan Cak Nur ini mengungkapkan Cak Nur memang jarang bicara soal gender. 

Dilansir dari sumber lainnya, Budhy menyatakan bahwa hanya ada dua tulisan yang secara eksplisit membahas tema ini. Pertama, isu jilbab, dan kedua, isu nikah beda agama. Dalam isu jilbab, Cak Nur menyatakan bahwa itu tradisi Arab. Saya bersetuju dengan pandangan Cak Nur ini. Bahwa di dalamnya mengandung nilai kebaikan, kepantasan, atau identitas kemusliman, bahkan politik, kebiasaan berpakaian itu bisa saja diberi makna baru sebagai hal yang dianggap baik bagi perempuan Muslim. Namun secara hukum, menurut Cak Nur, itu bukanlah hal yang diwajibkan.

Dalam isu pernikahan beda agama, Cak Nur bahkan menjadi “tekstualis”. Sebagaimana terdapat dalam Al-Quran, perempuan muslimah boleh menikah dengan lelaki ahlul kitab. Debat muncul dalam memaknai siapa yang disebut ahlul kitab itu. Dari pandangan eksplisit Cak Nur dalam isu gender begitu terbatas, lho. Namun, berikut adalah 3 hal yang bisa kamu perhatikan terhadap pandangan beliau akan isu feminisme dan gender ini.

1. Tradisi intelektual

Isu perburuhan yang menyangkut para buruh perempuan sudah mulai mengemuka, juga isu pelanggaran hak reproduksi dalam pemaksaan keluarga berencana oleh rezim Orde Baru. Namun, sama seperti pada umumnya organisasi wanita, para wanita ini terkooptasi oleh ideologi Orde Baru bahwa wanita ideal adalah ibu dan istri. Inilah kenapa saat itu Orde Baru sedang lucu-lucunya mengejawantahkan konsep budaya Jawa bercampur dengan budaya organisasi militer tentang peran istri sebagai pendamping. Tradisi yang lekat pu biasanya sama seperti yang dilakukan oleh sebuah organisasi bernama HMI pada umumnya.

2. Tauhid sebagai nilai utama

Sumber penafsiran paling autentik tentu saja karya tulisnya. Cak Nur adalah intelektual yang produktif banget, Beauty. Para muridnya, seperti Budhy Munawwar Rachman, Kautsar Azhari Noor, dan Wahyuni Nafis kemudian mendokumentasikan karya-karya tersiar Cak Nur yang berjumlah lebih dari 5.000 halaman itu ke dalam ensiklopedia Karya Lengkap Nurcholish Madjid.

Ada sejumlah tema yang secara konsisten dikemukakan Cak Nur dan menjadi bangunan teori serta metodologi cara mendekati persoalan dengan menghubungkan teks (keagamaan) dengan realitas. Sebagai “Neo Modernis” Cak Nur mengakrabi teks keagamaan klasik (kitab kuning) dengan cara baca baru (filsafat, sosiologi dll). Lahirlah pandangan-pandangannya yang relevan dengan isu yang muncul di era modern seperti isu dehumanisasi manusia pada kaum buruh, isu kepemimpinan di dunia modern, demokrasi sebagai nilai dan praksis, pendidikan, paham kebangsaan, dan seterusnya. Karya-karya Cak Nur itu dengan kacamata gender dan feminisme. Hasilnya, bisa dilihat dengan jelas banget bagaimana sikap dan pandangan Cak Nur dalam isu keadilan bagi kaum wanita.

Pertama, di seluruh tulisannya, Cak Nur meletakkan tauhid (monoteisme) sebagai nilai paling utama, paling esensial. Dalam NDP HMI juga dilihat ini menjadi pembahasan nomor satu dari delapan nilai yang bermuara pada nilai insan kaamil, atau insan cita. Nilai tauhid yang ditawarkan Cak Nur diletakkan dalam satu tarikan nafas dengan kebebasan. Manusia yang bertauhid harus terbebas dari ancaman, pemaksaan, atau koersi yang memaksakan seseorang mengambil sembahan lain selain Tuhan. Itu bisa berbentuk pemujaan terhadap jabatan, kedudukan, pangkat, keluarga, bani/trah, anak, pasangan atau harta.

3. Kesetaraan dan kemanusiaan

Adapun nilai pluralisme dan inklusi. Nilai ini senantiasa hadir dalam tulisan atau ceramah Cak Nur sebagai nilai yang prinsip dalam isu kemanusiaan. Pluralisme adalah  konsekuensi logis dari nilai tauhid. Jika yang maha kuasa hanya Allah, maka makhluknya tak bisa menjadi tuhan. Kedudukan mereka niscaya setara, sama-sama sebagai makhluk. Kesetaraan adalah dalil atas adanya nilai pluralisme. Sebab kesetaraan memastikan semua orang sama di hadapan Tuhan dan mengakui akan adanya keragaman. Kesetaraan dalam isu keadilan gender adalah satu nilai yang diperjuangkan sebagai dasar untuk mendapatkan keadilan.

Penghapusan diskriminasi berbasis prasangka gender dapat kita gali dari pandangan Cak Nur yang menolak praktik itu atas dasar apa pun, termasuk suku, ras, agama, dan sejenisnya. Cak Nur berpendapat bahwa hal itu bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan peradaban. Diskriminasi berbasis apa pun, bagi Cak Nur adalah pengingkaran atas kemuliaan manusia yang memiliki kesadaran/akal tentang kesederajatan manusia di hadapan Tuhan, dan hanya manusia yang memahami nilai kemanusiaannya yang bekerja untuk peradaban. Inilah nilai kemanusiaan dan peradaban yang hidup dalam karya Cak Nur.

Nah, jadi itulah pandangan seorang yang hebat perihal feminisme dan kesetaraan gender. Bukan cita-cita yang sulit, tapi merangsang pikiran-pikiran patriarki dengan pemahaman kesetaraan gender penting untuk dilakukan, mengingat sudah makin banyak media yang mudah dijangkau untuk menyebarkan nilai feminisme ini. Bahkan untuk Islam sendiri pun nggak serta merta bisa menolak feminisme, tetap ada cara untuk mendapatkan kesetaraan gender ini, Beauty.

Baca Juga: Ini 5 Cara Dorong Kesetaraan Gender dalam Perusahaan ala Grant Thornton, Apa Saja?

Baca Juga: KemenPPPA Bongkar 4 Kunci Kesetaraan Gender: Jadi Penggerak Ekonomi hingga Sejahterakan Keluarga!

Ketinggalan informasi bikin kamu insecure, Beauty. Yuk, ikuti artikel terbaru HerStory dengan klik tombol bintang di Google News.