Menu

Mengenal Seluk Beluk Penyakit Autoimun: Seberapa Perlu Pasien Divaksinasi Covid-19?

14 Desember 2021 13:24 WIB

Para narasumber di acara media briefing virtual “Dampak Panjang Covid-19 dan Seberapa Perlu Vaksinasi Covid-19 pada Pasien Lupus”, Selasa (14/12/2021). (Riana/HerStory)

HerStory, Jakarta —

Beauty, apakah kamu pernah mendengar tentang penyakit autoimun?

Penyakit autoimun merupakan kondisi kesehatan ketika sistem daya tahan tubuh menyerang sel, jaringan, atau organ tubuh diri sendiri. Dalam kondisi normal, sistem daya tahan tubuh berperan sebagai pelindung terhadap serangan kuman penyakit, bakteri, dan virus.

Penyakit ini ditandai dengan peradangan sistemik, di mana sistem kekebalan yang tak teratur menyebabkan kerusakan atau disfungsi organ target.

Penyakit autoimun reumatik termasuk kondisi seperti lupus eritematosus sistemik (LES), rheumatoid arthritis (RA) dan sklerosis sistemik (scleroderma), di mana jaringan ikat (tulang rawan, sinovium sendi, kulit) paling sering menjadi sasaran.

Dr. dr. Cesarius Singgih Wahono, SpPD-KR, selaku Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Reumatologi, menuturkan, LES memiliki dampak signifikan pada kualitas hidup pasien. Dibandingkan dengan populasi sehat, penyakit ini menjadi sebuah penghalang dalam menjalani kehidupan sehari-hari karena gejalanya yang muncul secara signifikan atau kambuh secara tiba-tiba dengan didominasi gejala seperti kelelahan, berkurangnya kemampuan untuk melakukan aktivitas fisik, dan rasa nyeri. 

“Tidak hanya itu, LES juga memiliki dampak negatif pada karier pasien, bahkan hingga 39 persen pasien LES melaporkan bahwa mereka harus berganti pekerjaan karena penyakit tersebut,” tutur dr. Singgih, saat acara media briefing virtual “Dampak Panjang Covid-19 dan Seberapa Perlu Vaksinasi Covid-19 pada Pasien Lupus”, sebagaimana dipantau HerStory, Selasa (14/12/2021).

dr. Singgih menyarankan, agar dapat mempertahankan kualitas hidup yang lebih baik, penting bagi pasien LES untuk disiplin dengan perawatan yang dijalani. Tentunya, dengan pemantauan pengobatan yang ketat, 80-90 persen pasien lupus dapat menjalani hidup normal.

dr. Singgih juga bilang, perawatan penyakit lupus yang bersifat jangka panjang, bertujuan untuk menekan sistem kekebalan tubuh yang terlalu aktif, menginduksi remisi dan mencegah kerusakan organ permanen. Pengobatan standar dari perawatan lupus adalah menggunakan non-farmakologi (edukasi, menghindari panas matahari, manajemen stress) dan pengobatan (antimalaria, steroid, dan imunosupresan/penekan sistem imun). 

“Pada pasien lupus sedang hingga berat yang sudah melibatkan organ lain seperti ginjal, penggunaan imunosupresan digunakan bersamaan dengan obat steroid, untuk meminimalisir efek samping jangka panjang steroid yang mungkin ditimbulkan, seperti penumpukan lemak di pipi (moon face), aterosklerosis, dan lain sebagainya. Dukungan keluarga, sahabat, dan komunitas juga memegang peranan penting,” tambah dr. Singgih.

Lebih lanjut, dr. Singgih menuturkan bahwa tantangan yang dihadapi oleh pasien LES di tengah pandemi Covid-19 ini sangatlah tinggi. Di mana, meningkatnya risiko penularan virus Covid-19 pada pasien autoimun membuat pasien lupus harus mengambil tindakan pencegahan ekstra.

“Pasien LES yang dirawat di rumah sakit karena sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) disebabkan oleh COVID-19 memiliki risiko mortalitas lebih tinggi dan kondisi yang buruk secara signifikan, dibandingkan dengan individu yang sehat tanpa penyakit bawaan lainnya,” imbuhnya.

Di kesempatan yang sama, Prof. Dr. dr. Harry Isbagio, SpPD-KR, KGer, selaku Spesialis Penyakit Dalam, Konsultan Reumatologi, mengatakan, pandemi Covid-19 ini kemungkinan akan dapat menyebabkan munculnya penyakit autoimun, termasuk penyakit autoimmune inflammatory rheumatic, seperti lupus, artritis reumatoid. 

Dikatakan Prof. Harry, gejala penyakit AIIRD dapat muncul sewaktu-waktu, tetapi pasien mengalami kesulitan mengakses layanan kesehatan karena kurangnya tenaga spesialis yang menangani pasien-pasien dengan AIIRD; bagi pasien yang sedang dalam perawatan, membutuhkan lebih banyak biaya pengobatan hingga pasien menghadapi kendala keuangan.”

“Imunogenesitas (respon tubuh terhadap vaksin) pada jenis vaksin SARS-COV2 yang inaktif, mRNA, dan viral vector lebih rendah pada pasien AIIRD dibanding pada populasi umum. Sedangkan untuk tingkat keamanan vaksin tersebut sama saja. Perbedaan imunogenesitas ini dapat dikarenakan karena penggunaan obat imunosupressif pada pasien AIIRD. Mengingat, pasien AIIRD memiliki risiko yang lebih tinggi terkena infeksi Covid-19 dan lebih berat hal ini membuat vaksinasi Covid-19 menjadi bagian penting dari perawatan, dan vaksinasi dapat diberikan atas persetujuan dari dokter yang merawat,” tutur Prof. Harry.

Fyi Beauty, seiring dengan dampak global dari pandemi Covid-19 yang masih terus berlanjut, Perhimpunan Reumatologi Indonesia (IRA) terus berkomitmen dalam membantu pasien lupus dengan memberikan informasi terkini tentang perkembangan baru virus Covid-19 dan dampaknya bagi komunitas lupus.

IRA juga memberikan pedoman apabila seseorang mengalami gejala lupus, serta edukasi tentang penanganan untuk mencegah kondisi akut (flare) dan mengatasi gejala yang muncul.

Novartis Indonesia sebagai mitra dalam upaya peningkatan kesadaran terhadap penyakit lupus ini, menegaskan komitmennya dalam turut meningkatkan kualitas hidup pasien LES atau autoimun di Indonesia.

“Sejalan dengan tujuan kami reimagine medicine, Novartis secara berkelanjutan bermitra dengan IRA mengadakan program-program edukasi, baik kepada pasien, awam, maupun tenaga kesehatan – berupa seminar, webinar atau pembuatan materi edukasi; selain terus membuka akses yang lebih lebih luas bagi lebih banyak pasien untuk mendapatkan pengobatan inovatif melalui program JKN,” jelas Hanum Yahya, Country Head of Public Affairs, Communications & Patient Engagement PT Novartis Indonesia.

Artikel Pilihan