Menu

'Anak Laki-laki Kok Takut?' Moms Hindari 7 Toxic Masculinity Ini Saat Mengasuh Anak Laki-laki

24 Maret 2022 11:50 WIB

Illustrasi orang tua menerapkan toxic masculinity (Bearfotos)

HerStory, Tangerang —

Toxic masculinity saat mengasuh anak laki-laki masih sering diterapkan oleh banyak orangtua. Sedari kecil mungkin kita sering mendengat kalimat seperti, "Anak laki-laki ko nangis sih?", "Anak laki-laki nggak boleh main boneka", atau "Anak laki-laki masa nggak berani sih?" Jangan cengeng kayak anak perempuan.

Kenyataannya, apa yang kita dengar dari orang-orang di masa kecil lambat laun bisa membentuk karakter diri kita. Dalam pikiran kita, menjadi laki-laki harus seperti itu, harus keras, tidak boleh lembut. Dan tanpa kita sadari, kalimat-kalimat ini juga kita ulangi pada anak laki-laki kita saat menjadi orangtua. Lantas apa saja contoh toxic masculinity yang harus kita hentikan dalam mendidik anak laki-laki kita sejak sekarang? Dikutip dari Instagram @talkparenting, anatar lain sebagai berikut:

1. Anak laki-laki itu nggak boleh nangis

Apa dasarnya anak laki-laki nggak boleh menangis? Emosi sedih, takut, atau kecewa yang keluar dalam tangisan adalah hal yang sepenuhnya wajar. Melarang anak menangis akan menghambat perkembangan emosional mereka. Tindakan ini akan membuat anak mengindentifikasi dan mengelola emosi mereka. Jika hal ini terus berlanjut, kesehatan mental anak akan terganggu.

2. Anak laki-laki kok penakut, sih?

Nggak boleh takut! Anak laki-laki harus berani. Sama seperti menangis, ketakutan adalah hal yang wajar dimiliki setiap orang. Justru rasa takut dalam konteks positif bisa membuat seseorang menjadi lebih dewasa dan berhati-hati. Sebenarnya menjadi pemberani bukan berarti tak punya rasa takut. Melainkan kemauan untuk mengambil tantangan penting dalam hidup dengan penuh pertimbangan dan kehati-hatian.

3. Lho, ketua kelasnya kok perempuan?

Masa laki-laki dipimpin sama perempuan? Jiwa kepemimpinan merupakan anugerah yang tak semua orang miliki. Nggak semua orang, baik itu laki-laki atau perempuan, mempunyai aspek yang kuat dalam kepemimpinan. Untuk itu, penting sekali menerapkan pemahaman bahwa buka saja anak laki-laki yang harus menjadi pemimpin.

4. Laki-laki nggak usah takut berantem

Ayo, lawan saja. Dalam toksik maskulinitas, laki-laki seolah-lah mendapat perspekstif sebagai manusia yang harus agresif. Apakah ini baik? Tentu saja tidak. Anak perlu belajar cara menyelesaikan masalah dengan diplomatis. Anak-anak juga perlu belajar membela diri sendiri dengan cara yang tepat.

5. Jangan mau kalah, dong!

Anak-anak perlu belajar tentang kekalahan sedini mungkin. Mereka mungkin mengalami kekalahan dan dari itu perlu belajar mengenali kelemahan serta kelebihan lawannya. Menamamkan kalimat ini bisa membuat anak berpikir kalau kelelahan bisa merusak maskulinitas laki-laki. Lebih kalah sering merasa frustasi, cemas dan kecewa. Tentu saja ini bisa berdampak buruk untuk kesehatan mental mereka.

6. Laki-laki, kok, sakit, sih?

Kenyataannya, rasa sakit nggak pernah memandang jenis gender. Toxic masculinity sering menyebut sakit adalah sesuatu yang nggak macho untuk anak laki-laki. Padahal ini sangat manusiawi. Pandangan toksik ini bisa membuat anak laki-laki kurang peduli dan perhatian terhadap tubuhnya sendiri. Merek seolah-olah harus terus berolahraga dan bekerja keras saat terluka dan terus beraktivitas saat sakit. Hal ini justru berbahaya untuk fisik mereka.

7. Lhoo... kok laki-laki baperan amat

Kayak perempuan saja! Kalimat ini juga sering muncul dalam pola asuh toxic masculinity. Laki-laki seolah haram untuk menunjukkan perasaan. Laki-laki harus kuat, tabah, dan nggak menampilkan emosional yang destruktif.