Menu

Gawat! Kasus Kekerasan Berbasis Gender Masih Terus Meningkat Bahkan di Masa Pandemi Sekalipun!

27 Oktober 2020 18:45 WIB

Ilustrasi wanita mengalami kekerasan. (Pinterest/ncadv.org)

HerStory, Tangerang —

Dalam acara Women Empowerment “The Role of Women in Looking After the Mother Earth” yang diselenggarakan secara virtual melalui Zoom membahas mengenai pentingnya peran perempuan dan kesetaraan gender. Kesetaraan gender tak hanya masalah perempuan saja tetapi juga kesempatan untuk bisa meningkatkan kesejahteraan secara global

Namun,pada dasarnya perspektif orang terhadap wanita masih kurang atau dianggap belum layak berada dalam ranah sosial maupun bisnis. Bahkan peran-peran yang dimiliki oleh wanita ini seringkali mengalami bias.

“Peran kultural membuat wanita ‘wanita mending di dapur aja’ dan menidurkan anak tiap malam, sementara peran biologis adalah peran biologis. Namun, karena banyaknya peran banyak yang bingung mana peran kultural dan peran biologis. Belum lagi adanya peran bias,” ujar Ayu Kartika selaku Managing Director Indika Foundation melalui virtual zoom pada Selasa (27/10/2020).

Belum lagi kekerasan yang terjadi terhadap perempuan atas perspektif masyarakat yang menganggap perempuan sebagai makhluk yang lemah. Bahkan di masa pandemi ini menyebabkan penurunan progres dalam usaha untuk memuat kasus kekerasan berbasis gender menjadi menurun.

“Covid-19 pandemi ini akan menyebabkan sepertiga penurunan dari program yang sudah kita lakukan untuk menurunkan dan mengeliminasi kekerasan berbasis gender,” ucap UNFPA Gender Specialist, Risya Kori.

Bahkan Risya mengatakan bahwa setiap 3 bulan lockdown akan menambah hingga 15 juta kasus kekerasan berbasis gender. Dalam situasi normal 1 dari 3 wanita pernah mengalami kekerasan baik fisik, psikologi, ekonomi, dan seksual.

Berdasarkan data dari Komnas Perempuan pada bulan Januari hingga bulan Mei di saat terjadi pandemi kekerasan terhadap perempuan meningkat pada bulan April.

“Kekerasan lebih banyak dalam rumah tangga, kekerasan oleh mantan pasangan, kekerasan oleh mantan suami atau mantan istri yang kedua kekerasan dalam komunitas sendiri, ketiga kekerasan yang dilakukan aparat negara terhadap perempuan,” sambung Risya Kori.

Kekerasan paling banyak dialami oleh wanita adalah kekerasan psikologi, lalu kekerasan seksual dan kekerasan fisik.

Akan tetapi, jarang sekali kekerasan terhadap perempuan ini dilaporkan ke pihak berwajib. Hal ini dikaitkan dengan stigma dan diskriminasi sehingga sulit bagi perempuan untuk melaporkan hingga ke pihak berwajib. Bahkan untuk menceritakan ke keluarga pun masih sulit dilakukan oleh perempuan yang mengalami kekerasan seksual.

“Dari sisi prosedurnya ternyata tidak mudah perempuan melaporkan kekerasan yang dialami. Karena ada filter yang harus dilalui hingga mereka mampu sampai ke pelayanan. Misalnya dia lapor ke keluarga ke RT, penuh upaya-upaya untuk memediasikan, jadi ‘sudahlah itu diatur secara kekeluargaan saja, akibatnya kasus ini tidak sampai ke ranah hukum,” ujar Ignatius Praptorahardjo, UNFPA Researcher.

Tak hanya itu saja, pihak kepolisian pun seringkali mencabut laporan sehingga kasus tak bisa diteruskan lagi. Hal ini masih menunjukkan undang-undang kekerasan yang masih belum kuat karena kasus kekerasan terus meningkat tiap tahunnya.

Artikel Pilihan