Menu

Mengulik Sosok dan Jalan Intelektual Soedjatmoko dari Kaca Mata Sang Putri, Seperti Apa?

10 Januari 2022 14:50 WIB
Mengulik Sosok dan Jalan Intelektual Soedjatmoko dari Kaca Mata Sang Putri, Seperti Apa?

Ketiga putri Soedjatmoko, yakni Kamala Chandrakirana, Isna Marifa, dan Galuh Wandita, saat sesi press conference ‘Membaca Soedjatmoko, Mencari Indonesia’ dan launcing website membacasoedjatmoko.com, Senin (10/1/2022). (Riana/HerStory)

Terkait sosok Soedjatmoko sendiri, Galuh Wandita, selaku pekerja HAM, menuturkan bahwa jauh di dalam ingatannya, ia masih mengingat bagaimana akhlak seorang Soedjatmoko yang selalu ingin tahu, selalu terbuka, suka membaca dan tidak pernah membeda-bedakan orang.

“Buat saya sendiri, saya saya ingat bagaimana akhlak seorang Soedjatmoko yang selalu ingin tahu, selalu terbuka, suka baca dan tidak pernah membeda-bedakan orang. Kalau kita punya gagasan selalu didengarkan. Orang-orang yang pakar, orang-orang yang biasa itu semua menjadi bagian dari dialog kemanusiaan yang dia praktekin ke dalam kesehariannya. Jadi hari ini sekaligus membuka pintu bersama, mencoba mencari, karena ini banyak sekali ini persoalan yang terjadi di dunia maupun di Indonesia, polarisasi dan intoleransi semua yang sebenernya juga sudah diberikan warning oleh Soedjatmoko,” tuturnya.

Galuh pun menilai, pemikiran almarhum yang paling diingatnya dan relevan dengan kondisi saat ini adalah terkait prinsip interdependent-nya.

“Menurut saya ide dia tentang gerakan kemerdekaan yang sebenarnya menjadi waktu dimana menempa siapa itu Soedjatmoko, tapi kemudian dia menaikkan itu jadi interdependent. Jadi sebuah pendekatan atau sebuah visi dimana kemerdekaan itu saling memerdekakan gitu. Saya pikir itu berarti ada ruang yang inklusif, ada ruang yang plural, ada ruang dialog dsb, saya pikir ini sangat penting dalam konteks Indonesia saat ini,” ujarnya.

Sementara, menurut Isna Marifa, selaku penulis/pegiat lingkungan hidup, pemikiran sang ayah yang berbekas diingatannya adalah terkait peran budaya dalam pembangunan.

Pemikiran almarhum itu ada dibegitu banyak bidang atau sub-bidang, tapi buat saya pribadi dan saya kira ini jadi banyak wacana di berbagai kalangan adalah peran budaya dalam pembangunan dan seperti judul kegiatan ini ‘Mencari Indonesia’, kita tahu bahwa pengaruh-pengaruh asing it uterus menerus ada dan tidak akan pernah putus, tapi yang penting adalah bagaimana kita memformulasikan ciri khas atau identias bangsa yang akan membawa kita ke pembangunan yang khas dengan Indonesia,” bebernya.

Lebih lanjut, Isna pun memaparkan bahwa semasa hidupnya, Soedjatmoko kerap mendorong ketiga putrinya untuk selalu menomorsatukan pendidikan dan selalu memberi putri-putrinya ruang dan kebebasan sendiri.

Yang jelas pendidikan adalah sesuatu yang sangat didorong pada kami, anak-anaknya. Mungkin salah satunya karena dia gak sampai menyelesaikan sekolah. Tapi selain itu dari awal kita masuk sekolah ditekankan bahwa apa yang kita pelajari itu harus dibaktikan kembali pada Indonesia. Jadi itu udah harga mati kali ya. Tapi bukan sesuatu yang diwajibkan, diharuskan dengan paksaan, tapi papa selalu ngasi tahu bahwa tantangan Indonesia itu besar ke depannya. Dan kami pun gak pernah didikte harus sekolah ini sekolah itu, gak pernah. Mungkin justru pendekatannya agak soft, karena saya ingat waktu remaja itu ketika papa pulang dari konferensi internasiona, dia kasih paper2-papernya dia sendiri maupun publikasi internasional ke anak-anaknya. Kit disuruh baca terus ditanya apa pendapat kita tentang hal itu. Kita justru dengan itu seakan dipercaya kita bisa memformulasikan pandangan kita sendiri, itu mungkin kayak latihan,” paparnya.

Ketinggalan informasi bikin kamu insecure, Beauty. Yuk, ikuti artikel terbaru HerStory dengan klik tombol bintang di Google News.

Halaman: