Illustrasi orang tua menerapkan toxic masculinity (Bearfotos)
Toxic masculinity saat mengasuh anak laki-laki masih sering diterapkan oleh banyak orangtua. Sedari kecil mungkin kita sering mendengat kalimat seperti, "Anak laki-laki ko nangis sih?", "Anak laki-laki nggak boleh main boneka", atau "Anak laki-laki masa nggak berani sih?" Jangan cengeng kayak anak perempuan.
Kenyataannya, apa yang kita dengar dari orang-orang di masa kecil lambat laun bisa membentuk karakter diri kita. Dalam pikiran kita, menjadi laki-laki harus seperti itu, harus keras, tidak boleh lembut. Dan tanpa kita sadari, kalimat-kalimat ini juga kita ulangi pada anak laki-laki kita saat menjadi orangtua. Lantas apa saja contoh toxic masculinity yang harus kita hentikan dalam mendidik anak laki-laki kita sejak sekarang? Dikutip dari Instagram @talkparenting, anatar lain sebagai berikut:
Apa dasarnya anak laki-laki nggak boleh menangis? Emosi sedih, takut, atau kecewa yang keluar dalam tangisan adalah hal yang sepenuhnya wajar. Melarang anak menangis akan menghambat perkembangan emosional mereka. Tindakan ini akan membuat anak mengindentifikasi dan mengelola emosi mereka. Jika hal ini terus berlanjut, kesehatan mental anak akan terganggu.
Nggak boleh takut! Anak laki-laki harus berani. Sama seperti menangis, ketakutan adalah hal yang wajar dimiliki setiap orang. Justru rasa takut dalam konteks positif bisa membuat seseorang menjadi lebih dewasa dan berhati-hati. Sebenarnya menjadi pemberani bukan berarti tak punya rasa takut. Melainkan kemauan untuk mengambil tantangan penting dalam hidup dengan penuh pertimbangan dan kehati-hatian.
Ketinggalan informasi bikin kamu insecure, Beauty. Yuk, ikuti artikel terbaru HerStory dengan klik tombol bintang di Google News.