Menu

Bisnis Bareng Teman atau Pasangan? Begini Saran Psikater Biar Kesehatan Mental dan Bisnis Sama-sama ‘Aman’

19 Oktober 2021 15:58 WIB

Ilustrasi wanita memiliki bisnis sendiri (Shutterstock/Edited By HerStory)

HerStory, Jakarta —

Merintis bisnis bersama pasangan sedang menjadi tren saat ini. Banyak yang akhirnya bisnis yang dibangun bersama terbilang sukses. Seperti yang dilakukan Irvan Helmi, Co-Founder and Director of Anomali Coffee, yang berbisnis bersama teman dan kakaknya sendiri. Serta, Helga Angelina Tjahjadi yang membesarkan Burgreens and Green Rebel bersama pasangan hidupnya, Max Mandiaz.

Nah, terkait menjalankan bisnis bareng teman atau pasangan sekalipun, nyatanya ada banyak hal yang perlu diperhatikan agar bisnis tersebut berjalan dengan lancar, Beauty.

Menurut dokter yang berkecimpung di bidang psikiatri, dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ, memilih rekan bisnis bukanlah sesuatu kegiatan yang mudah. Hal ini disebabkan oleh persiapan bisnis, strategi, dan penghitungan modal yang sangat kompleks. Kata dia, menemukan rekan bisnis yang tepat bisa menjadi salah satu strategi terbaik untuk mendapat kesuksesan. Namun, jika pemilihan rekan bisnis dilakukan secara sembarangan, maka bisa saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau merugikan perusahaan.

“Karenanya, dalam memilih rekan bisnis menurut aku yang penting dilihat itu dari sisi kejujuran dan proses bekerja. Jadi hal-hal standar seperti human being seperti itu perlu ada. Selain itu adalah keterampilan untuk berkonflik. Itu bagian yang penting, bukan hanya utk berbisnis tapi juga sebagai human being. Sehingga pas jam kerja selesai, kita melihat rekan bisnis kita sebagai manusia tempat kita kerja bersama-sama. Jadi ketika konflik ini diresolusikan setelah selesai, gak boleh ada pandangan yang gak enak. Karena lawan kita itu manusia, bukan mesin penghasil uang,” papar dr. Jiemi sesi ShopeePay Talks bertajuk ‘Selektif Pilih Teman Dagang, Bisnis Makin Langgeng’, sebagaimana dipantau HerStorySelasa (19/10/2021).

dr. Jiemi menuturkan juga bahw setiap orang memiliki nilai-nilai kehidupan yang mereka pegang teguh dalam menjalani kehidupan. Karenanya, penting bagi pelaku bisnis untuk memahami nilai-nilai hidup yang dipegang teguh oleh rekan bisnis mereka. Memiliki beberapa nilai kehidupan yang sama dapat membantu mereka saling memahami dan menciptakan hubungan bisnis yang lebih langgeng. 

“Kepribadian setiap orang memang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Namun, perbedaan tersebut dapat disatukan dengan nilai-nilai kehidupan yang mereka pegang teguh. Kedua individu atau lebih dapat dikatakan cocok satu sama lain untuk menjalin hubungan bisnis jangka panjang apabila mereka memegang beberapa nilai-nilai kehidupan yang saling beririsan. Misalnya, kedua individu ini sangat menjunjung tinggi nilai kejujuran, maka mereka pun akan cenderung menjalankan bisnis dengan saling terbuka dan jujur dalam berkomunikasi. Setiap individu yang memegang beberapa nilai kehidupan yang sama akan lebih mudah untuk saling memahami dan berempati satu sama lain sehingga dapat lebih bijak saat menghadapi konflik bersama,” tuturnya.

Kemudian, dr. Jiemi melanjutkan bahwa dalam konteks membangun bisnis ataupun proses komunikasi secara umum, kepribadian yang sama atau serupa itu gak wajib dipunyai pelaku bisnisJustru kata dia, penting sekali untuk ada adalah keterampilan untuk berkonflik.

“Proses komunikasi mungkin bisa berbeda, tempo kerja beda, sabar orang beda, keinginan dari invidu, sudut panjang juga beda-beda, dan ini pasti tabrakan. Sehingga keterampilan kedua orang ini berkonflik, untuk menyadari keinginan, egonya, batasan dirinya, dan kemudian berkolaborasi sama-sama, itulah yang penting dipunyai oleh pelaku bisnis,” kata dr. Jiemi.

Selain itu, kata dr. Jiemi, yang tak kalah penting, pelaku bisnis pun punya tujuan dan common ground yang sama.

“Di sini perlu ada tujuan yang sama-sama nih yang disepakati di awal, atau disebut visi misi. Yang nantinya ini jadi common ground atau dasar pijakan tanah bersama-sama seandainya ada konflik,” ujar dr. Jiemi.

“Kalau kita gak punya pijakan tanah, ketika kita ada konflik yang terjadi adalah kita mencari siapa yang salah. Dalam proses komunikasi mencari siapa yang salah biasanya ujungnya cuma dua, saya kesel karena dia salah, atau saya kesel karena disalahin. Gak ada common ground-nya. Sementara jika kita ada common ground, bukan nyari siapa yang salah, tapi nyari ‘ini kesalahan apa sih yang sedang terjadi, lalu gimana ya kita fixing-nya sama-sama’. Dan pada akhirnya kita mendekati end goal yang sama. Jadi, kepribadian di sini lebih kepada warna aja. Tapi yang lebih penting dari itu menurut saya adalah keterampilan dalam berkonflik sama kita punya common ground,” lanjut dr. Jiemi.

Lantas, bagaimana stategi manajemen konflik agar pelaku bisnis bisa menjaga kesehatan mental sekaligus menjaga bisnisnya sampai jangka panjang?

Terkait hal itu, dr. Jiemi pun punya jawaban yang menarik. Menurutnya, dalam berkonflik ini ada dua mindset yang bisa dipakai, yakni army mindset dan scalp mindset.

Army kan tentara, poinnya siapa yang menang siapa yang kalah. Scalp itu istilahnya mata-mata, poinnya bukan siapa yang menang siapa yang kalah, poinnya adalah sayapengen cari data sebanyak mungkin supaya saya bisa record sebaik mungkin. Dan dalam setting peran, keduanya sama pentingnya. Baik yang menembak maupun yang jadi mata-mata untuk melihat setting keadaan yang sebenar-benarnya,” tutur dr. Jiemi.

Terkait cara menghadapi konflik dalam berbisnis, dr. Jiemi bilang para pelaku bisnis harus punya keahlian meredam egonya sendiri untuk mengetahui masalah yang terjadi.

“Kita butuh down the ego untuk sama-sama mengetahui masalah. Masalahnya ada dalam proses komunikasi, dalam pengambilan keputusan. Sehingga pengambilan keputusan berjalan dalam proses yang baik. Jadi butuh sangat kerendahan hati dari keduanya,” ujarnya.

Lebih lanjut, dr. Jiemi juga bilang, pelaku bisnis juga harus menilai konflik itu bukan sebagai hal yang negatif. Menurutnya, konflik itu justru ditujukan untuk saling mengasah satu sama lain atau justru untuk saling menguatkan apa yang sudah ada.

“Yang buruk adalah kita menganggap konflik itu sendiri buruk. Konflik itu hal yang baik kalau ada resolusinya. Ada conclussion-nya di ujung. Konflik yang buruk itu yang dibiarkan menggantung. Konfliknya sendiri bukan masalah, tapi bagaimana kita menganggap konflik itu bukan masalah, bagaimana kita menyelesaikannya, saling mengasah satu sama lain, itu sebenarnya yang menjadikan konflik itu sehat,” tuntas dr. Jiemi.

 Semoga informasinya bermanfaat ya, Beauty!