Menu

Jadi Masalah Pelik, Unilever Gaet Para Pakar Cari Solusi Atasi Sampah Plastik

16 November 2021 19:04 WIB

Para pembicara di virtual talk Unilever Indonesia x Kumparan “Plastik & Evolusi Perilaku Manusia”, Selasa (16/11/2021). (Riana/HerStory)

HerStory, Jakarta —

Beauty, dewasa ini, permasalahan sampah di Indonesia sangat pelik dan untuk menyelesaikannya perlu waktu yang tak sebentar. Semua pihak dalam rantai nilai sampah perlu berbagi peran melakukan aksi nyata.

Dan, PT Unilever Indonesia, Tbk. kali ini menggandeng para pakar di bidang ilmu sosial untuk menggali lebih dalam dan mencari solusi permasalahan sampah plastik dari berbagai kajian humaniora melalui diskusi Unilever Indonesia x Kumparan “Plastik & Evolusi Perilaku Manusia”, sebagaimana dipantai HerStory, Selasa (16/11/2021).

Sejalan dengan gerakan #GenerasiPilahPlastik dari Unilever Indonesia, acara ini bertujuan untuk menggerakan semua pihak, termasuk masyarakat luas untuk turut melakukan aksi nyata, dimulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat mereka.

Di Indonesia, timbunan sampah pada 2020 telah mencapai 67,8 juta ton per tahun, dan diperkirakan akan meningkat 5% setiap tahunnya, dari jumlah ini, 15%-nya adalah sampah plastik. Di pulau Jawa, tercatat 88,17% sampah plastik masih diangkut ke TPA atau berserakan di lingkungan. Untuk itu, Pemerintah menargetkan angka pengurangan sampah hingga 30% tahun 2025, diiringi dengan dicanangkannya berbagai regulasi dan gerakan yang menegaskan pentingnya kolaborasi dari seluruh pihak untuk ikut andil mengurai permasalahan sampah.

Erik Armundito, S.T., M.T., Ph.D, selaku Perencana Madya pada Direktorat Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengungkapkan, peran individu dan masyarakat sangat penting untuk mewujudkan target nasional penanggulangan sampah, termasuk sampah plastik.

Adapun kata Erik, ada 5 hal terkait penanganan dan pengelolaan sampah yang menjadi kunci agar terjadi perubahan sosial dan perilaku masyarakat.

“Yang pertama, peraturan perundangan dan turunannya, yang mengatur tentang pengelolaan dan pengolahan sampah mulai dari hulu sampai hilir. Kedua, peningkatan pemahaman terhadap masyarakat, bisa melalui sosialisasi, pendampingan, kampanye pelatihan, hingga datang ke sekolah-sekolah. Yang ketiga, tokoh panutan, yaitu mereka yang memiliki komitmen terhadap pengelolaan sampah, bisa jadi pejabat, wakil rakyat, tokoh agama, tokoh masyarakat, ataupun dari public figure. Keempat, penyediaan fasilitas-fasilitas pengelolaan sampah, dan yang kelima dan yang terpenting: penegakan hukum. Kelima poin tersebut sudah ada dalam rencana pembangunan jangka menengah kita di tahun 2020-2024 dan juga sudah masuk di rencana pembangunan nasional jangka panjang. Dalam merealisasikannya, tentunya kolaborasi bersama seluruh pihak, termasuk pihak produsen dan konsumen, sangat dibutuhkan,” tutur Erik.

Di kesempatan yang sama, Maya Tamimi, selaku Head of Sustainable Environment Unilever Indonesia Foundation, mengatakan, adalah tanggung jawab dan komitmen jangka panjang Unilever Indonesia Foundation untuk turut membantu mengatasi permasalahan sampah, terutama sampah plastik di Indonesia.

“Kami percaya bahwa plastik memiliki tempatnya di dalam ekonomi, tetapi tidak di lingkungan kita. Hal ini sejalan dengan komitmen global bahwa selambatnya tahun 2025, Unilever akan mengurangi setengah dari penggunaan plastik baru, mendesain 100% kemasan plastik produknya agar dapat didaur ulang, digunakan kembali atau dapat terubah menjadi kompos, dan membantu mengumpulkan dan memroses kemasan plastik lebih banyak daripada yang dijual,” beber Maya.

Maya menjelaskan untuk mencapai komitmen tersebut, Unilever Indonesia telah menerapkan upaya dari hulu ke hilir, mulai dari mendesain produknya hingga ke paska penggunaan kemasan oleh konsumen.

“Edukasi ke masyarakat dan khususnya konsumen menjadi salah satu fokus yang kami lakukan. Misalnya, baru-baru ini kami meluncurkan gerakan #GenerasiPilahPlastik untuk mengajak masyarakat menjadi generasi yang lebih peduli lingkungan dan lebih bertanggung jawab terhadap kemasan yang mereka gunakan, terutama kemasan plastik.Kami percaya jika konsumen atau masyarakat bergerak bersama kami, kita bisa menghasilkan dampak yang lebih signfikan dalam menciptakan lingkungan yang lestari, lebih bersih dari sampah. Hari ini kami menggelar diskusi mendalam bersama para pakar di bidang ilmu sosisal untuk menyoroti permasalahan ini lebih mendalam, sehingga kita bisa sama-sama memetakan kaitan permasalahan sampah plastik dengan perilaku manusia, serta mendiskusikan solusinya,” terangnya.

Untuk diketahui, masyarakat sendiri memiliki peran yang sangat penting. Berdasarkan data, 37,3i sampah yang terkumpul pada 2020 berasal dari sampah rumah tangga. Bahkan dari 175.000 ton sampah yang dihasilkan Indonesia per harinya, didominasi hingga 60% oleh sampah rumah tangga.

Diskusi “Plastik dan Evolusi Perilaku Manusia” menyoroti inti dari permasalahan sampah plastik. Plastik sendiri ditemukan Lebih dari 100 tahun lalu, dan disambut oleh warga dunia dengan suka cita. Namun seiring waktu, saat plastik semakin mendominasi kehidupan, berbagai permasalahan mulai muncul. Padahal, permasalahan plastik bukan hanya terletak pada eksistensi dari plastiknya, melainkan pengelolaan yang kurang baik, yang diperburuk dengan perilaku manusia yang selama ratusan tahun terbiasa membuang sampah.

Dr. Yosefina Anggraini, S.Sos, M.Si., Antropolog dan Pengajar LPEM FEB UI menerangkan bahwa perilaku masyarakat terhadap sampah dapat dipahami melalui pendekatan materialisme budaya dari Marvin Harris.

Pendekatan ini, kata dia, memandang bahwa kebudayaan merupakan produk hubungan antara benda-benda, dimana manusia menciptakan kebudayaan tertentu karena dianggap sesuai dengan lingkungan alam sekitarnya. Dalam prosesnya, setiap kelompok masyarakat memiliki siasat untuk menghadapi berbagai tekanan geografis dan ancaman lingkungan (environment determinism) sebagai bentuk strategi adaptasi.

“Berdasarkan pendekatan ini, untuk dapat membangun sebuah kebudayaan bijak sampah, dibutuhkan tiga komponen yang saling berkaitan, yaitu Infrastruktur, Suprastruktur dan Struktur. Ketiga komponen tersebut memiliki keterkaitan yang erat dengan industri. Pada tahapan perkembangan masyarakat saat ini, industri merupakan kunci perekonomian masyarakat, namun di sisi lain industri menghasilkan sampah yang jika tidak dikelola dengan bijak akan mengganggu kelestarian ekologi dan populasi manusia. Dalam komponen infrastruktur, industri harus menggunakan teknologi yang mendukung kelestarian ekologi dan populasi manusia. Sementara suprastruktur mencakup beragam ide, gagasan atau cara pandang ketika manusia harus hidup berdampingan dengan sampah sebagai konsekuensi dari industri. Masyarakat dapat menentukan apakah sampah akan terus diposisikan sebagai lawan dan ancaman yang membahayakan hidup manusia;atau justru melihat sampah sebagai sahabat karena memberikan manfaat, misalnya dengan menciptakan nilai ekonomi dari sampah. Untuk menciptakan perilaku bijak sampah, diperlukan pula dukungan dari struktur, yaitu organisasi yang ada dalam struktur masyarakat untuk meregulasi dan menata pengelolaan sampah, serta menerapkan perilaku bijak sampah sebagai nilai budaya baru dalam kehidupan sehari-hari,” terang Dr. Yosefina.

Sementara dari sisi sosiologi, lanjut dia, penanaman kesadaran kolektif untuk bijak sampah plastik sebenarnya dapat dilakukan melalui banyak pendekatan, seperti regulatif, insentif, dan lainnya. Namun semuanya harus diawali dengan membangun kultur bijak sampah plastik, yaitu kesadaran individual untuk mengubah persepsi mengenai sampah plastik, serta peranan mereka dalam mengatasi permasalahan tersebut.

Selanjutnya, Dr. Arie Sujito, S.Sos, M.Si., selaku Sosiolog dan Pengajar FISIPOL Universitas Gadjah Mada (UGM), menerangkan, kemampuan mengelola sampah dan menjaga kelestarian lingkungan adalah penanda peradaban, dan inilah yang menjadi tantangan kita bersama.

Menurutnya, masyarakat harus terlebih dahulu mengubah persepsi mengenai lingkungan, bahwa lingkungan harus dijaga agar kualitas kehidupan tetap baik untuk masa kini dan masa mendatang.

“Hal ini berhubungan pula dengan cara kita memandang sampah plastik sebagai bagian dari masalah lingkungan, bahwa sampah plastik bukan hal yang menjijikkan atau tidak bermakna, melainkan bagian dari keseharian yang jika mampu dikelola dan dikendalikan akan meningkatkan kualitas hidup,” imbuh Arie.

Adapun, pandangan ini sejalan dengan kajian perilaku seseorang dalam ilmu psikologis. Kata Arie, mereka yang masih tidak memiliki kepedulian terhadap sampah umumnya kurang memiliki empati atau apatis, akibat rasa denial dan ketidaknyamanan untuk mengakui bahwa permasalahan sampah adalah hal yang nyata dan mengancam kehidupan mereka.

Kemudian, Tara de Thouars, BA, M. Psi., selaku Psikolog Klinis menjelaskan, perilaku peduli terhadap masalah sampah adalah pilihan yang sangat subyektif. Kata dia, pertama-tama perlu ditanamkan kesadaran bahwa bertanggung jawab terhadap sampah adalah langkah kebaikan sederhana namun berdampak besar.

“Untuk memiliki kesadaran, perlu dimulai dengan adanya sense of purpose karena seseorang baru akan termotivasi jika apa yang dilakukannya memiliki tujuan dan arti. Lebih bijak mengelola sampah bisa menjadi salah satu bentuk sense of purpose bahwa mereka sudah berhasil mewujudkan purpose yang positif bagi diri dan lingkungannya. Setelah itu, perbuatan bijak ini perlu didukung dan dipertahankan dengan adanya self reward, sesederhana mengapresiasi diri bahwa kita telah melakukan sebuah kebaikan. Pada akhirnya, self reward ini dapat menjadi dorongan bagi seseorang untuk mengubah perilakunya secara jangka panjang,” jelas Tara.

Semoga informasinya bermanfaat ya!

Artikel Pilihan