Menu

Hari Kartini: Analisa Widyaningrum Ungkap Cara Patahkan Stigma yang Kerap Mendera Perempuan dalam Karier dan Keluarga

21 April 2022 06:31 WIB
Hari Kartini: Analisa Widyaningrum Ungkap Cara Patahkan Stigma yang Kerap Mendera Perempuan dalam Karier dan Keluarga

Analisa Widyaningrum, selaku Founder dari Analisa Personality Development Center (APDC) dan juga seorang Psikolog dan Pegiat Sosial. (Instagram/@analisa.widyaningrum)

HerStory, Bogor —

Beauty, tanpa disadari pandemi Cobid-19 yang terjadi lebih dari 2 tahun ini telah mengubah berbagai sisi kehidupan, tak terkecuali dalam hal kesetaraan gender. Ya, meski secara kasat mata seakan tak ada hubungan langsung antara pandemi dengan kesetaraan gender, ternyata 2 tahun pandemi ini menyiratkan adanya dampak tidak langsung.

Analisa Widyaningrum, selaku Founder dari Analisa Personality Development Center (APDC) dan juga seorang Psikolog dan Pegiat Sosial, pun mengatakan, dampak pandemi tak langsung itu menyasar kaum perempuan. Yang mana, dampaknya itu diantaranya terkait pandemi parenting, pengelolaan keuangan keluarga, unemployment and loses, dan memicu tingkat stress tinggi.

Karenanya, kata Analisa, yang harus dilakukan perempuan agar tetap tangguh dalam menjalankan perannya di masa pandemi seperti sekarang ini adalah melakukan manajemen diri, manajemen waktu dan delegasi, hingga akhirnya bisa menemukan value diri sendiri.

“Selain itu, juga ada beberapa penghalang yang harus disingkirkan. Mulai dari meminimalisir perasaan insecure, ketakutan akan berbagai risiko, kepercayaan diri yang rendah dan stigma bahwa pekerjaan laki-laki lebih baik,” tutur Analisa, saat menjadi pembicara di webinar yang digelar Grant Thornton Indonesia bertajuk "Pentingnya Pengembangan Mental untuk Mendukung Keseimbangan Peran Perempuan dalam Karier dan Keluarga”, sebagaimana dipantau HerStory, Rabu (20/4/2022).

Analisa mengatakan, saat ini, perempuan punya banyak kesempatan karena kondisi sekarang itu eranya internet of things. Untuk bisa memberdayakan diri, perempuan saat ini tak harus ada di industri kerja di area perkantoran aja. Tapi, mereka bisa menginspirasi melalui hal-hal sederhana, seperti melawan stigma itu sendiri.

“Karena kadang-kadang yang saya pelajari itu banyak perempuan yang tak mampu menjadi dirinya sendiri, itu karena terbelenggu atas ekspetasi orang lain. Kita diminta menyukai orang lain itu dengan mudah, tapi yang membuat kita tak percaya diri ini adalah percaya dengan kemampuan kita sendiri. Kadang mungkin yang menjebak kita itu ekspetasi orang lain. Padahal sekarang kalau kita lihat, ketidaksempurnaan itulah yang membuat perempuan itu bisa percaya terhadap diri kita karena kadang yang sulit itu adalah kita menerima penolakan dari orang lain,” beber Analisa.

Analisa bilang, stigma yang mendera kaum perempuan itu sendiri muncul tidak begitu saja, tapi pandangan masyarakat lah yang membuatnya. Karenanya, kata dia, yang sulit untuk bisa kaum perempuan lanjutkan dari perjuangan RA Kartini di era media sosial sekarang adalah bagaimana mereka mempertahankan tujuan mereka sendiri, dan tujuan-tujuan itu harus dijadikan sebagai sumber semangat oleh para kaum perempuan itu sendiri.

“Bukan terpengaruh omongan orang. Kita harus berani tutup mata, tutup telinga. Kita juga harus memberikan semangat satu sama lain, fokus tujuan diri sendiri daripada orang lain,” ujar Analisa.

Dikatakan Analisa, sebagai perempuan kita punya hak untuk bisa mendapatkan kebebasan dari stigma, stereotype, dan apalagi kekerasan yang sering terjadi. Karena kata dia, stigma, stereotype, dan kekerasan itu adalah satu hal yang menyakitkan.

“Kadang-kadang ini membuat perempuan jadi galau menjalankan perannya, sehingga akhirnya harus memilih. Padahal sebenarnya ini bukan sebuah pilihan. Ini adalah 2 peran yang bisa kita jalankan bersamaan. Itulah sebabnya kita harus bisa me-menage perasaan kita, me-menaemosi kita, dan me-menage waktu kita, dan itu sangat penting,” terangnya.

Analisa juga menuturkan, saat ini, tak bisa dipungkiri bahwa masih ada beberapa hambatan transparan dan artificial yang dihadapi perempuan atau kaum minoritas untuk meraih jabatan tinggi dalam suatu perusahaan. Adapun, fenomena ini disebut sebagai glass ceiling.

Menurut Analisa, fenomena glass ceiling ini perlu menjadi perhatian karena fenomena ini merupakan suatu bentuk diskriminasi halus tetapi merugikan, karena seseorang tak bisa menempati posisi yang lebih tinggi di suatu perusahaan, namun bukan karena orang tersebut tidak mampu, tidak memiliki keterampilan atau tidak berusaha lebih keras.

“Jadi memang ada beberapa hal yang menjadi penghalang bagi perempuan untuk berkemban, ini terkait risiko yang akan dihadapi, insecure/rendahnya kepercayaan diri, takut akan kegagalan, diskriminasi dan stigma masyarakat, dan budaya high power distance atau dianggap tak lebih mampu daripada pria,” tutur Analisa.

Lebih jauh, Analisa pun mengatakan, ketika semua orang berkutat dengan stigma yang harus dilakukan perempuan, maka kita sebagai perempuan pun harus mencoba melihatnya dari sudut pandang yang lebih perspektif. Analisa juga bilang, menurut riset, ada beberapa keuntungan yang bisa dipetik ketika seorang perempuan berperan sebagai pengambil keputusan di ranah industri bisnis.

Yakni pertama, bisa meningkatkan potensi wanita dalam tanggung jawab dan pengambilan keputusan serta menciptakan lingkungan kerja yang lebih terbuka dan dekat secara emosional.

“Pertama, kita benahi dulu mindset-nya tentang perempuan di ranah industri bisnis. Menurut riset, perempuan kalau masuk di sektor industri, itu justru bisa mengambil keputusan dengan cepat karena dia memiliki ke-empatianyang lebih tinggi. Kenapa? karena perempuan itu secara hormonal, secara fisiologis, memiliki tinggi sense of emphaty yang lebih tinggi, sehingga pada saat kita mengambil keputusan, kita bisa melompati pria yang logic,” beber Analisa.

Keuntungan selanjutnya, kata Analisa, yakni bisa meningkatkan tingkat gender-inclusive workplace dan meningkatkan kesejahteraan pegawai terutama pada aspek pendidikan dan kesehatan.

“Kita juga bisa lebih terbuka lebih komunikatif, yang membuat lingkungan kerja itu jadi lebih positif. Lalu, bisa meningkatkan meningkatkan gender-inclusive-workplace, karena selama ini mungkin kayak misalnya dealing soal gaji, dianggap perempuan itu tidak punya gaji lebih tinggi dari pria. Jadi kalau kita bicara tentang kesejahteraan, pendidikan kesehatan dengan perempuan itu mengandung peran di sektor industri bisnis, apalagi pengambil keputusan, ini bisa meningkatkan gender inclusive lho. Tidak lagi terjadi ekskusifisme di tempat kerja,” paparnya.

Berikutnya, kata Analisa, perempuan jika masuk ke ranah bisnis, khususnya dalam sebuah kepemimpinan atau pengambil keputusan, justru akan meningkatkan profit perusahaan sebesar 21 terjadinya income inequality. Dan ternyata, sambung Analisa, ketika pemimpin atau pekerja perempuan ini berhasil di dalam karirnya, mereka jadi punya kemampuan untuk lebih bijak dalam mengurus rumah tangga.

“Kemudian kelebihan perempuan bekerja yang merangkap sebagai Ibu adalah dia bisa menjadi master of multitasking, kenapa? ketika Bapak bekerja, ibu bekerja, domestic dipegang oleh ibu ini. Kesatu karena memang kodratnya. Kedua, perempuan yang bekerja sekaligus mengurus rumah tangganya, mereka memiliki kemampuan leadership yang lebih tinggi. Karena mereka bisa mengatur waktunya dengan baik, prioritasnya dengan baik, dan mereka tahu banget dengan yang mereka inginkan,” terang Analisa.

“Jadi yang mau saya sampaikan adalah ketika kita bingung nih sekarang antara kita tuh mau kerja atau di rumah, itu bukan sebuah pilihan. Itu adalah sebuah peran yang bisa kita jalankan secara bersamaan. Dan konon katanya, ternyata ini bisa menjadi model yang baik untuk keluarga mereka. Anak yang dilahirkan dan dibesarkan dari ibu yang bekerja, ternyata terbukti memiliki keteladanan yang cukup tinggi. bagi anak perempuan, dia jadi tahu visi kedepannya apa, seperti apa, dan bagi anak laki-laki dia akan lebih menghargai perempuan,” tandas Analisa.

Baca Juga: Banyak Wanita Jadi Korban Diskriminasi di Tempat Kerja, Ripy Mangkusoebroto Punya Solusinya Nih Beauty!

Baca Juga: PMSM dan Binus University Gelar Diskusi Ciptakan Lingkungan Kerja Makin Kondusif dan Bebas Diskriminasi, Gimana Cara Mencapainya?

Ketinggalan informasi bikin kamu insecure, Beauty. Yuk, ikuti artikel terbaru HerStory dengan klik tombol bintang di Google News.