Menu

Mengenal Febty Febriani, Sosok Peneliti Wanita di Bidang Geofisika: Kunci suksesnya, Jangan Baperan!

11 November 2021 14:45 WIB

Febty Febriani, Ph.D., Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Febty merupakan salah satu dari 4 empat wanita peneliti Indonesia yang mendapatkan award L'ORÉAL-UNESCO FOR WOMEN IN SCIENCE NATIONAL FELLOWSHIP 2021. (Riana/HerStory)

HerStory, Bogor —

Beauty, tahukah kamu bahwa wanita yang terjun dalam dunia sains dan berkarier sebagai peneliti bisa dibilang masih sangat rendah?

Ya, menurut data dari UNESCO pada tahun 2015 sendiri, perbandingan jumlah peneliti wanita di dunia hanya 30 persen dari total keseluruhan. Sementara di Indonesia sendiri, jumlah peneliti wanita di Indonesia hanya sekira 31 persen, jauh berbanding dengan pria yang mencapai 69 persen.

Nah, salah satu wanita yang berhasil mendobrak stigma bahwa sains merupakan dunia ‘maskulin’, adalah Febty Febriani, Ph.D. Saat ini, wanita yang kerap disapa Febty ini adalah peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Febty merupakan salah satu dari 4 empat wanita peneliti Indonesia yang mendapatkan award L'ORÉAL-UNESCO FOR WOMEN IN SCIENCE NATIONAL FELLOWSHIP 2021.

Menilik awal karirnya sendiri, Febtymendapatkan gelar Sarjana dari Universitas Gadjah Mada bidang Geofisika pada tahun 2005, kemudian melanjutkan studi S2-nya dan mendapatkan gelar pada tahun 2011, dan dilanjutkan dengan studi S3-nya yang ia selesaikan pada tahun 2014. Adapun, kedua program studi bidang Geofisika tersebut Febty selesaikan di Chiba University, Jepang.

Yang bikin kagum, sudah banyak penelitian yang Febty selesaikan sejak tahun 2014 hingga sekarang, meskipun menjadi ilmuwan tak pernah menjadi tujuan hidupnya sebelumnya. Dulunya ia bermimpi untuk menjadi seorang dosen namun hal itu bukanlah hal yang masuk dalam perjalanan hidup Febty.

“Setelah mencoba mendaftar menjadi dosen di beberapa universitas, akhirnya saya memutuskan untuk mendaftar di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan mendapatkan beasiswa dan berkesempatan untuk melanjutkan S2 dan S3-nya di Chiba University, Jepang,” tutur Febty, Rabu (10/10/2021)

Lebih jauh, Febty mensyukuri banyak hal dalam perjalanannya hingga akhirnya berhasil menjadi ilmuwan. Perjalanan awal S3-nya bersamaan dengan masa kehamilan anak pertamanya. Dan dalam menjalankan S3-nya, Febty dapat menyelesaikan program studinya dengan lancar sambil membesarkan putra pertamanya.

Lantas, bagaimana cara Febty menyeimbangkan antara karir dan kehidupannya, terutama sebagai ibu rumah tangga?

“Saya bersyukur karena mendapatkan dukungan yang penuh dan maksimal dari suami, orang tua, dan orang sekitarnya, salah satunya adalah pembimbing kampus pada saat ia mengambil S2 dan S3 di Jepang, yaitu Prof. Katsumi Hatori. Beliau lah yang memberi dukungan kepada saya untuk terus bersemangat dan maju dalam mendalami penelitian-penelitiannya. Prof. Katsumi Hatori juga sampai sekarang masih terus berkarya dan menghasilkan penelitian-penelitian yang akan selalu menjadi inspirasi untuk saya hingga saat ini,” jelasnya.

Menjalankan S1, S2, dan S3 di bidang Geofisika, Febty akhirnya memiliki kepakaran di bidang tersebut dan telah membuat beberapa penelitian terkait gempa menggunakan beberapa metode yang ada. Lalu, apa sih yang melatarbelakangi Febty melakukan penelitian ini?

“Kalau ditanya apa yang melatarbelakangi saya melakukan peneltian ini adalah kita semua tahu bahwa Indonesia itu rawan gempa ya, artinya memang Indonesia itu harus membuat program terintegrasi bagaimana gempa bisa kita perkirakan jangga pendek, menengah, dan jangka panjangnya. Kami berkontribusi di jangka pendeknya, dimana kita membangun sebuah system dg metode yang tepat, shg metode yang kita bangun ini berlaku untuk semua gempa yang terjadi di Indonesia. Sekarang kita lagi berusaha nih, metode apa nih untuk Indonesia bagian barat, timur, tengah, kita coba beberapa metode hingga suatu hari harapannya satu metode buat semua gempa bisa kita bangun sistemnya dengan early warning system gempa di Indonesia,” terangnya.

Saat in, Febty sedang melakukan analisa pada data geomagnetik dalam rangka memetakan karakteristik heterogenitas kerak bumi Indonesia dan membangun sistem dengan metode yang divalidasi untuk menentukan prakiraan gempa jangka pendek dengan menggunakan data geomagnetik.

“Harapannya, kedua hal ini nantinya dapat digunakan sebagai early warning system untuk memperkirakan akan terjadinya gempa pada masa yang akan datang. Tentu akan ada banyak orang yang terbantu dan terinfokan mengenai akan datangnya gempa di suatu lokasi, dan pada akhirnya akan banyak sekali orang yang dapat terselamatkan dari kejadian gempa tersebut,” tuturnya.

Terkait soal masih sedikitnya jumlah peneliti wanita di Indonesia sendiri, Febty pun punya pengalamannya sendiri. Dan seperti kita tahu, dunia riset yang digeluti Febty ini jadi momok menakutkan bagi sebagian wanita, mereka kerap takut akan kalah dalam bersaing dengan kaum pria. Lantas menurutnya, skill wanita yang seperti apa yang dibutuhkan di dunia sains dan teknologi ini?

“Berdasarkan pengalaman, saya S1, S2, S3 dulu itu selalu di ‘dunia pria’. Ya, wanita yang ambil ilmu geofisika itu bisa dihitung jari, di bawah 10 orang mungkin ya. Jadi menurut saya skill yangpenting buat wanita yang terjun ke dunia sains itu gak boleh baper. Karena kalau baperan bisa susah. Jadi gimana kita gak baper kita orang mengkritisi penelitian kita, bagaimana misalnya kita gak baper ketika hipotesa kita salah, gimana kita gak baper misalnya ketika kita sedang menempuh sekilah S3 kemudian dikritisi habis-habisan sama supervisor kita. Nah, kalau kita sudah bisa gak baper, pasti bisa unggul di bidang sains untuk wanita,” papar Febty, kepada HerStory.

Dan terkait inisiatif seperti apa yang harus dilakukan untuk mengurangi kesenjangan gender dan mendorong lebih banyak wanita untuk masuk ke dunia sains, Febty menilai, hal ini justru merupakan peran penting dari media massa. Pasalnya, media adalah bentuk transportasi komunikasi massa, yang dapat didefinisikan sebagai penyebaran pesan secara luas, cepat, dan terus menerus, yang ujung-ujungnya bisa ‘memancing’ lahirnya para peneliti-peneliti wanita lainnya.

“Terkait inisiatif, peran media sangat penting, kalau di BRIN sendiri kita punya Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR), nah tahun ini saya membimbing 2 murid SMA di Majalengka, dua-duanya perempuan, dan mereka menang. Daerah mereka jauh dari perkotaan, tapi mereka gak pantang menyerah untuk jadi pemenang. Begitu juga ternyata di Indonesia di bagian timur masih sedikit nih yang acara sains. Makanya acara-acara sains seperti LKIR ini mungkin perlu bantuan para media yang menyebarkan. Karena banyak acara-acara sains yang digelar. Sehingga banyak anak-anak daerah yang ikut, yang nantinya akan menjadi peneliti-peneliti wanita Indonesia yang berkompeten di bidangnya,” tuntas Febty.

Artikel Pilihan