Menu

Mengulik Sosok dan Jalan Intelektual Soedjatmoko dari Kaca Mata Sang Putri, Seperti Apa?

10 Januari 2022 14:50 WIB

Ketiga putri Soedjatmoko, yakni Kamala Chandrakirana, Isna Marifa, dan Galuh Wandita, saat sesi press conference ‘Membaca Soedjatmoko, Mencari Indonesia’ dan launcing website membacasoedjatmoko.com, Senin (10/1/2022). (Riana/HerStory)

HerStory, Jakarta —

Perdebatan tentang identitas Indonesia, kembali jadi perbincangan hangat, terutama sejak masa reformasi. Dan, salah seorang pemikir alternatif yang tak pernah berhenti mencari Indonesia dalam setiap pikiran dan gagasannya, serta bisa kita jadikan rujukan adalah Soedjatmoko.

Soedjatmoko, yang mestinya hari ini berusia 100 tahun, adalah tokoh di Indonesia yang sepanjang hidupnya terus bergumul dengan persoalan-persoalan besar yang dihadapi bangsa dan dunia pada jamannya.

Setidaknya, ada lebih dari 300 makalah dan pidato yang disampaikannya di berbagai forum dan jurnal—nasional dan internasional—antara tahun 1948 hingga wafatnya, tahun 1989. Sebagian dari tulisan-tulisan ini pernah diterbitkan sebagai bunga rampai oleh penerbit Indonesia, Jepang dan Amerika Serikat.

Di Indonesia sendiri, banyak karyanya yang ditulis dalam Bahasa Inggris ada yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia.Karenanya, untuk menggali sumbangannya, baik di bidang budaya, sastra, sosial, pembangunan ekonomi, sains, dan agama, ketiga putri Soedjatmoko, yakni Kamala Chandrakirana (aktivis perempuan), Isna Marifa (penulis/pegiat lingkungan hidup), serta Galuh Wandita (pekerja HAM), menggelar serangkaian diskusi dan meluncurkan sebuah website berisi 300 lebih tulisan Soedjatmoko yang bisa diakses publik, mulai hari ini, Senin (10/1/2022).

Menurut putri sulung Soedjatmoko, Kamala Chandrakirana, yang juga merupakan aktivis perempuan, website bertajuk Membaca Soedjatmoko’ ini bertujuan untuk memberi akses terbuka pada tulisan-tulisan Soedjatmoko dalam bentuk aslinya sebagaimana disimpan di rumah kediamannya di Jakarta.

“Ini merupakan langkah awal kami, anak-anaknya Soedjatmoko, ambil dalam rangka memperingati 100 tahun kelahirannya yang jatuh pada hari ini. Dan memang, saya juga ingin menyampaikan bahwa ide untuk membuat website ini, bahkan jauh dari sebelum ide ini lahir, jadi muncul dari perbincangan. Jadi pas saya juga membayangkan kira-kira pas 100 tahun ayah kami bagaimana ya kita bisa memperingatinya. Dan saya pikir versi kekiniannya adalah website. Jadi untuk website ini kami dibantu oleh teman-teman, yang membantu proses digitalisasi 300 tulisan-tulisan, dan kemudian saya juga meminta kawan lagi untuk membuat desain grafis dan desain website. Tapi kan website kalau dipasang saja belum tentu digunakan, jadi saya pikir kita perlu spirit dari Soedjatmoko itu adalah perbincangan. Jadi saya kemudian bersapa dengan berbagai kawan yang saya tahu memiliki keprihatinan dan perhatian pada persoalan-persoalan yang menjadi perhatiannya Soedjatmoko. Dan kawan-kawan inilah yang saya sapa untuk bertanya kira-kira bersedia gak untuk kita sama-sama menggunakan tulisan-tulisan Soedjatmoko yang memang tulisannya udah 30 tahun yang lalu, tulisan terakhirnya kan tahun 1989, pas tahun kematiannya. Dan ternyata setiap kawan yang saya sapa itu langsung merespon secara positif bahkan dengan penuh semangat.Jadi, karya-karya yang dipaparkan dalam website ini menggambarkan penjelajahan pemikiran dan jangkauan keterlibatan Soedjatmoko yang sangat luas. Harapannya, website ini bisa dikembangkan terus sebagai ruang untuk membangun pengetahuan dari hidup dan pemikiran Soedjatmoko,” tutur Kamala, saat sesi press conference ‘Membaca Soedjatmoko, Mencari Indonesia’ dan launcing website membacasoedjatmoko.com, sebagaimana dipantau HerStory, Senin (10/1/2022).

Terkait sosok Soedjatmoko sendiri, Galuh Wandita, selaku pekerja HAM, menuturkan bahwa jauh di dalam ingatannya, ia masih mengingat bagaimana akhlak seorang Soedjatmoko yang selalu ingin tahu, selalu terbuka, suka membaca dan tidak pernah membeda-bedakan orang.

“Buat saya sendiri, saya saya ingat bagaimana akhlak seorang Soedjatmoko yang selalu ingin tahu, selalu terbuka, suka baca dan tidak pernah membeda-bedakan orang. Kalau kita punya gagasan selalu didengarkan. Orang-orang yang pakar, orang-orang yang biasa itu semua menjadi bagian dari dialog kemanusiaan yang dia praktekin ke dalam kesehariannya. Jadi hari ini sekaligus membuka pintu bersama, mencoba mencari, karena ini banyak sekali ini persoalan yang terjadi di dunia maupun di Indonesia, polarisasi dan intoleransi semua yang sebenernya juga sudah diberikan warning oleh Soedjatmoko,” tuturnya.

Galuh pun menilai, pemikiran almarhum yang paling diingatnya dan relevan dengan kondisi saat ini adalah terkait prinsip interdependent-nya.

“Menurut saya ide dia tentang gerakan kemerdekaan yang sebenarnya menjadi waktu dimana menempa siapa itu Soedjatmoko, tapi kemudian dia menaikkan itu jadi interdependent. Jadi sebuah pendekatan atau sebuah visi dimana kemerdekaan itu saling memerdekakan gitu. Saya pikir itu berarti ada ruang yang inklusif, ada ruang yang plural, ada ruang dialog dsb, saya pikir ini sangat penting dalam konteks Indonesia saat ini,” ujarnya.

Sementara, menurut Isna Marifa, selaku penulis/pegiat lingkungan hidup, pemikiran sang ayah yang berbekas diingatannya adalah terkait peran budaya dalam pembangunan.

Pemikiran almarhum itu ada dibegitu banyak bidang atau sub-bidang, tapi buat saya pribadi dan saya kira ini jadi banyak wacana di berbagai kalangan adalah peran budaya dalam pembangunan dan seperti judul kegiatan ini ‘Mencari Indonesia’, kita tahu bahwa pengaruh-pengaruh asing it uterus menerus ada dan tidak akan pernah putus, tapi yang penting adalah bagaimana kita memformulasikan ciri khas atau identias bangsa yang akan membawa kita ke pembangunan yang khas dengan Indonesia,” bebernya.

Lebih lanjut, Isna pun memaparkan bahwa semasa hidupnya, Soedjatmoko kerap mendorong ketiga putrinya untuk selalu menomorsatukan pendidikan dan selalu memberi putri-putrinya ruang dan kebebasan sendiri.

Yang jelas pendidikan adalah sesuatu yang sangat didorong pada kami, anak-anaknya. Mungkin salah satunya karena dia gak sampai menyelesaikan sekolah. Tapi selain itu dari awal kita masuk sekolah ditekankan bahwa apa yang kita pelajari itu harus dibaktikan kembali pada Indonesia. Jadi itu udah harga mati kali ya. Tapi bukan sesuatu yang diwajibkan, diharuskan dengan paksaan, tapi papa selalu ngasi tahu bahwa tantangan Indonesia itu besar ke depannya. Dan kami pun gak pernah didikte harus sekolah ini sekolah itu, gak pernah. Mungkin justru pendekatannya agak soft, karena saya ingat waktu remaja itu ketika papa pulang dari konferensi internasiona, dia kasih paper2-papernya dia sendiri maupun publikasi internasional ke anak-anaknya. Kit disuruh baca terus ditanya apa pendapat kita tentang hal itu. Kita justru dengan itu seakan dipercaya kita bisa memformulasikan pandangan kita sendiri, itu mungkin kayak latihan,” paparnya.

Sementara menurut Galuh, yang ia ingat dari sosok sang Ayah semasa hidupnya adalah selalu mengajak putri-putrinya menjelajah ke seluruh pelosok Indonesia. Tak cuma itu, sang ayah pun selalu menanamkan bahwa momen ‘penjejelahan’ itu merupakan sumber ilmu yang harus selalu diterapkan.

Yang saya ingat dari kecil itu kita selalu diajak menjelajah seluruh pelosok Indonesia. Baik apakah itu naik mobil ke rumah kakek nenek di Banyumas maupun ke Madiun, jalan-jalan lihat Borobudur, dsb. Perjalanan-perjalan itu selalu dipenuhi dengan makan makanan enak, makanan lokal, berbincang dengan masyarkat di sana, melihat kehidupan di pedesaan, kehidupan yang berbeda, jadi rasanya itu jadi sesuatu yang sangat dinikmati sebagai keluarga dan juga ditanamkan pandangan bahwa ini adalah sumber belajar buat kita,” tuturnya.

“Saya pikir juga pada saat Soedjatmoko melanglangbuana itu juga bukan karena dia milih melalangbuana, dalam arti saat kondisi orde baru dimana pandangan dan pemikiran Soedjatmoko tidak dirasakan oleh penguasa sebagai sesuatu yang relevan atau penting, bahkan dipinggirkan, maka Soedjatmoko menceritakan apa yang didapatkan dari pergumulannya di Indonesia dalam bentuk pandangan dari perspektif yang disebutnya ‘intelektual dari dunia ketiga’. Jadi memang diuniversalkan tapi sebenarnya dia berakar pada pengalaman di Indonesia. Karena itu saya pikir kami pun yang besar di Indonesia, besar di Jepang, ikut belajar di tempat lain dsb walaupun ada sebuah arus universalitas dunia tapi selalu kembali ke Indonesia, kerinduan pada Indonesia, dan pengabdian pada Indoensia menjadi semacam inti dari pergumulan dia. Jadi saya rasa itu yang ia tularkan pada kami,” sambung Galuh.

Senada dengan Isna, Galuh pun tak menampik bahwa dari kecil ia dan saudari-saudarinya yang lain diberi ruang belajar sendiri. Soedjatmoko, kata dia, selalu mengatakan kepada putri-putrinya bahwa apa yang bisa ia beri adalah pendidikan

Dari kecil kita memang suka dikasih ruang untuk belajar sendiri. Papa selalu mengatakan bahwa apa yang bisa saya kasih ke kalian adalah pendidikan. Kalian cari jalan sendiri. Saya pikir itu yang membuat kita ruang geraknya saling bersentuhan tapi juga berbeda, kita cari ruang kita sendiri. Saya pikri juga memang ada beban ya nama Soedjatmoko dsb, tapi di lain pihak itu lebih sebuah bekal, karena dia mengisi ‘ransel’ kita dengan banyak hal yang bisa digunakan dalam perjalanan. Jadi bukan ‘labelnya’ tapi isinya,” papar Galuh.

Kemudian, menurut Kamala, pesan sang Ayah yang paling berpengaruh dalam hidupnya adalah bahwa anak-anaknya harus terus mendengar dan mencari tahu segala hal dari setiap orang bahkan dari orang yang ada di jalanan sekalipun.

“Kalau buat saya pesannya ya paling berpengaruh itu adalah pada pilihan-pilihan hidup saya, dia selalu mengingatkan kita agar harus terus mendengar, dan mencari tahu dari setiap orang bahkan orang yang ada di jalanan. Jadi mungkin karena pesan itu akhirnya saya memilih belajar sosiologi. Jadi itu sangat sangat berpengaruh dalam pilihan-pilihan hidup saya,” ujar Kamala.

“Jadi benar bahwa pesan Soedjatmoko ke kami, kita harus mencari jalan kita sendiri. Saya inget waktu itu saya nanya gini ke papa, saya juga gak tau kenapa saya nanya begitu. Saya tanya, ‘papa, nanti kalau meninggal mau ditulis apa di batu nisannya?’ terus dia bilang ‘independent thinker’ atau pemikir mandiri. Dan itu sebenarnya satu nilai yang ia sampaikan terus kepada kami. Dan bahkan dia bilang, kamu harus cari sendiri, kamu akan jatuh, dan ingat pada saat jatuh kamu harus bangkit kembali, sebenarnya itu prinsip dasarnya,” terang kamala.

Lantas, sejauh apa peran sang istri, Ratmini Gandasubrata, terhadap karir Soedjatmoko? Terkait hal itu, Galuh pun memaparkan jawaban yang menarik. Dikatakan Galuh, sang Ibu jelas punya peran penting dalam keluarganya, bahkan ia pun jadi ‘jangkar’ untuk suaminya sendiri, Soedjatmoko.

Jadi salah satu dinamika dalam keluarga ayah kami ini kayak hidup dalam planet ide, mungkin kalau dia kayak balon dia bisa terbang sendiri, tapi dia dijangkar oleh ibu saya, Ratmini. Dia orangnya sangat ekspresif dalam dunia seni, dia sendiri seorang pelukis, orang yang sangat praktis, yang mengelola segala hal berkaitan dengan kehidupan rill yang menjejakan kaki di bumi ini dikelola oleh ibu saya, Ratmini. Dan hal yang menjelajah alam pikiran cakrawala ide itu ada di ayah kami, Soedjatmoko. Jadi mereka sepasang yang tidak bisa hidup, tidak bisa berkembang satu sama lain. Kemudian, Ratmini, karena dia pelukis, pada saat ayah saya berjalan-jalan kemana-mana, ibu saya bisa ikut terlibat membangun dialognya sendiri lewat ekspresi seninya. Dia melukis, jadi ada lukisan di Kenya, di Nepal, di Pakistan, di berbagai tempat yang dikunjungi ayah kami, dan dia juga ibu saya yang bener-bener kami anak-anaknya dipastikan punya ruang dan dapat makanan enak, dsb. Dan ibu saya juga diberi ruang dan mengambil ruang untuk mengekspresikan dirinya sendiri lewat kesenian oleh papa,” beber Galuh.

Kemudian, Kamala pun menuturkan bahwa pandangan Soedjatmoko tentang perempuan dan hak-haknya pun tertulis nyata dalam karyanya.

“Ya, jadi aada tulisan khusus berkaitan dengan perempuan. Kalau tidak salah ada tulisan tentang respon Soedjatmoko tentang sebuah dialog atau polemik dengan kongres perempuan apa gitu. Jadi, dengan adanya website ini, saya pikir inilah kesempatan kita untuk mencari dan melihat lagi apa yang ada di tulisannya, dan kemudian mencoba mereflesikannya dalam konteks pada saat itu. Pada saat itu, pandangan Soedjatmoko tentang hak-hak pada perempuan dia sudah punya pandangan yang cukup progresif, bahwa perempuan juga punya hak yang sama untuk berekspresi dan itu dituangkan dalam cara dia membesarkan anak-anaknya,” tandasnya.

Fyi Beauty, bagi kamu yang tertarik mengulik tentang tulisan-tulisan visioner Soedjatmoko, kamu bisa mengaksesnya di website www.membacasoedjatmoko.com. Nantinya, di website ini, cakupan tulisan-tulisan Soedjatmoko yang sangat luas dan beragam ini terdiri dalam kerangka empat tema besar, yaitu:

1. Pembebasan manusia, pembangunan dan politik kebudayaan

Di sini bisa ditemukan tulisan-tulisan Soedjatmoko tentang pembebasan manusia dan pembangunan; peran budaya dalam pembangunan dan politik kebudayaan; serta, kemiskinan, kelaparan dan perkotaan.

2. Tatanan transnasional, transformasi global dan universalisme

Di sini bisa ditemukan tulisan-tulisan Soedjatmoko tentang universalisme dan transformasi; tatanan transnasional di tingkat global serta kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara; keamanan dan perdamaian di Dunia Ketiga; serta, agama dan tantangan jaman.

3. Ilmu pengetahuan, teknologi dan masa depan

Di sini bisa ditemukan tulisan-tulisan Soedjatmoko tentang masa depan dan pemuda; pendidikan dan krisis global; ilmu pengetahuan dan teknologi; lingkungan hidup, pangan dan energi; serta, tantangan komunikasi dan informasi.

4. Jejak langkah

Di sini bisa ditemukan tulisan-tulisan Soedjatmoko tentang perjalanannya dalam sejarah Indonesia; pandangannya tentang peran Universitas PBB yang ia pimpin; serta, berbagai refleksi pribadi dalam menjalankan berbagai tugas dalam karirnya.

Semoga informasinya bermanfaat, ya!