Menu

Psikolog: Sekolah Bukan Tempat Laundry, Ortu Jangan Cuma 'Terima Bersih'

05 Januari 2022 17:30 WIB
Psikolog: Sekolah Bukan Tempat Laundry, Ortu Jangan Cuma 'Terima Bersih'

Ilustrasi ibu yang bingung cara menolak permintaan anak. (Pinterest/Freepik)

“Nah, kalau ditanya keterlibatan orang tua itu sejauh mana? Apakah harus duduk di samping anak mengajari anak pelajaran, apakah orang tuanya jadi harus pinter kimia, matematika dan sebagainya gitu juga, apakah seperti itu? Ya, kalau seperti itu saya juga nyerah jadi ibu. Jadi,keterlibatan orang tua itu simple-nya cukup kayak menemani anak belajar, duduk berdua sama anak ngobrolin ‘gimana kamu hari ini, apa yang asik, apa yang nyebelin hari ini’, seperti itu misalnya. Nanyanya juga jangan ‘ada PR gak, dapat berapa hari ini, naik gak nilainya’, jangan gitu. Keterlibatan orang tua juga bisa sesimpel kayak nyiapin cemilan, jadi ada atensi, ada interest tentang apa yang sedang dilakukan anak, dll,” saran Vera.

Lebih lanjut, Vera pun menyarankan orang tua dan pendidik untuk membantu menanamkan pola pikir pro-growth atau pola pikir tumbuh sejak dini kepada anak-anak, sehingga makna kesuksesan dan prestasi diukur dari setiap pencapaian apa pun demi kebaikan diri.

“Orang tua dan pendidik patut menuntun anak-anak sehingga dapat menanamkan pola pikir yang mengakui segala bentuk pencapaian, bukan hanya demi kebaikan diri tetapi juga untuk membangun rasa percaya diri mereka. Sehingga perlahan-lahan, pencapaian signifikan pun memiliki makna yang lebih mendalam,” tutur Vera.

Selain itu, lanjut Vera, orang tua dan pendidik juga secara tidak langsung harus 'menjadi penjaga' fungsi pre-frontal cortex pada remaja. Tujuannya, untuk mengoptimalkan fungsi otak, orang tua bisa membantu anak melalui diskusi mengenai konsekuensi jangka pendek dan panjang saat memilih jurusan tertentu.

Fyi Moms, pre-frontal cortex sendiri adalah bagian terdepan dari cerebral cortex di otak manusia. Pre-frontal cortex bertanggung jawab dalam hal-hal yang berkaitan dengan perilaku manusia seperti perhatian (attention), perencanaan (planning), memori kerja (working memory), pengekspresian emosi, dan perilaku sosial yang sesuai norma di masyarakat.

“Jadi, pre-frontal cortex ini memang baru terbukti berfungsi optimal itu di usia 20-25 tahunan. Jadi sebelum anak mencapai usia itu, memang keputusan, perilaku, itu dipengaruhi oleh emosi. Sehingga tadi, tidak mudah untuk mengalahkan keinginan anak untuk misalnya main game, itu kan asik. Beda halnya dengan belajar, itu berat banget pasti gitu. Jadi dengan mengalahkan itu saja, anak remaja ini sudah berjuang supaya pre-frontal cortex bisa berfungsi lebih optimal. Nah, tugasnya kita sebagai orang tua dan pendidik, kita harus jadi rem pre-frontal cortexnya si anak ini, untuk melihat pilihan yang ada beserta konsekuensinya masing-masing. Nah itu orang tua berperan di situ, jadi butuh diskusi sama anak. Banyak orang tua mungkin tidak sabar untuk melalui proses ini. Jadi yang bisa dilakukan dalam membantu anak adalah melihat pilihan apa saja, beserta konsekuensinya apa, termasuk hal-hal lainnya,” pungkas Vera.

Baca Juga: Tabiat Baby Issa Dipuji Usai Bikin Nikita Willy Melotot Gegara Lempar Barang, Ini Baru Bibit Gentleman!

Baca Juga: 3 Kesalahan dalam Mengasuh Anak yang Jarang Disadari, Nomor 1 Bahaya Banget Moms-Dads!

Ketinggalan informasi bikin kamu insecure, Beauty. Yuk, ikuti artikel terbaru HerStory dengan klik tombol bintang di Google News.

Halaman: