Menu

Kata Pakar Soal Toxic Positivity Hingga Hubungannya dengan Kesehatan Mental, Cek Yuk Beauty!

27 Agustus 2021 19:25 WIB

Pakar Psikolog Klinis yang juga seorang Seksolog, Zoya Amirin,M.Psi.,FIAS (IG @zoyaamirin/Edited By HerStory)

HerStory, Bogor —

Beauty, di masa pandemi yang tak berkesudahan ini mungkin kita semua berjuang untuk selalu terus berpikir positif. Kita gak mau bersedih, kita gak boleh stress, kita buang jauh jauh pikiran negatif, terus bersyukur, dan lain sebagainya.

Namun tahu gak Beauty, ternyata pikiran seperti itu gak selalu baik juga lho. Karena justru akan malah menjadikan kamu merasa tertekan dan lelah emosi, bukan malah memperbaiki suasana hati apalagi keadaan.

Lantas, apa yang salah dong kalau gitu? Nah Beauty, ternyata ini bagian dari toxic positivity, lho.

FYI, istilah toxic positivity ini sendiri merujuk pada konsep yang mengatakan bahwa berpikir positif merupakan cara tepat untuk menjalani hidup. Dengan pola pikir sedemikian rupa, artinya kamu hanya berfokus pada hal-hal positif dan menolak menerima apa pun yang dapat memicu emosi negatif.

Pakar Psikologi Klinis yang juga seorang Seksolog, Zoya Amirin M.Psi.,FIAS, pun menuturkan, toxic positivity adalah cara seseorang untuk menghindari ekspresi emosi yang semestinya.

“Jadi kebanyakan orang sebenarnya tak mampu secara komprehensif memproses perasaannya sendiri, karena memang banyak orang yang gak nyaman kan dengan perasaan negatif itu ya. Ketika perasaannya itu terlalu kuat, tertekan, ada banyak orang berpikir bahwa paling mudah untuk supaya dia tidak merasa tertekan adalah dengan menekan perasaan tertekan itu, bukan menerima, bukan meng-embrace peraraan itu, nah keadaan itulah yang disebut toxic positifity,” papar Zoya, saat live sharing di Instagram, sebagaimana dipantau HerStory, Jumat (27/8/2021).

Zoya pun menuturkan, toxic positivity ini juga membuat kita merasa seolah tak boleh mengeluh saat sedang mengalami masalah. Kita juga jadi merasa harus selalu bersikap senang atau bahagia terus, dan secara realistis tentu tidak mungkin.

“Jadi toxic positifity itu kan ketidakmampuan untuk memproses perasaan kita sesungguhnya. Kita gak bisa tertawa saat kita senang, menangis saat kita bersedih. Nah, orang-orang yang tidak mampu memproses perasaan adekuat itu, dia akan memproses emosinya sesuai dengan apa yang dia rasakan, lama-lama dia jadi akan mendapatkan salah satu perasaan yang di-skip gitu, dan itu akan membuat dia mengalami gangguan mental,” terang Zoya.

Sehingga kata Zoya, akan lebih baik bila seseorang bisa menimbang emosinya dan membuat sebuah 'ketahanan diri' dalam menghadapi masalah. Ini lebih bermanfaat bagi perkembangan dan kesehatan mental seseorang, daripada memutuskan untuk hanya  merasakan hal-hal positif saja.

Lalu, bagaimana cara agar kita tak mengalami toxic positivity ini?

Cara yang bisa dilakukan, kata Zoya, adalah dengan mengelola emosi negatif kita sendiri, jangan menyangkalnya. Lalu, kita juga harus bersikap realistis tentang apa yang seharusnya dirasakan.

“Saat kita tertekan, wajar jika kita merasakan stres. Tapi, jangan tenggelam pada situasi tersebut. Kita harus bangkit untuk mencari keluar dari kondisi tersebut. Kita boleh menangis, jika memang perlu menuangkan rasa sedih dan kecewa. Namun, setelahnya cobalah untuk menyingkirkan emosi tersebut secara pelan-pelan,” ujarnya.

Zoya juga bilang, banyak orang menyepelekan mental health orang lain karena punya kebiasaan toxic positifity. Jadi ketika kita tak mengizinkan orang lain memproses perasaannya, kata dia, orang akan membangun mekanisme pertahanan diri dimana itu adalah ‘calon-calon’ gangguan kesehatan mental.

“Jika orang itu gak bisa mengontrol perasaannya sendiri lama-lama dia akan mati rasa, kehilangan empati, bahkan ada kecenderungan bisa menyebabkan menjadi seorang psikopat. Manusia itu ya harus jadi manusia pada umumnya. Kita harus bisa memproses perasaan sedih kita sebagaimana kita mampu, begitupun dengan perasaan bahagianya. Kalau orang itu terbiasa menekan perasaan negatifnya dia bisa jadi depresi. Nah, supaya bisa menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan, belajarlah untuk menerima keadaan itu,” jelas Zoya.

Lalu, apa yang harus dilakukan kala mengalami gangguan kecemasan?

Kata Zoya, pertama kita harus tanyakan ke diri kita sendiri apa yang harus dilakukan. Kenapa kita cemas, kita harus berpikir deductive thinking. Kita harus me-manage dulu toxic positifity-nya ini.

“Cemas itu wajar. Karena jika kita sering mengacuhkan apa yang dirasakan, dan tidak memvalidasi perasaannya sendiri, itu yang akan membuat seseorang mengalami gangguan mental,” papar Zoya.

Lebih jauh, Zoya pun mengingatkan agar kita menghindari orang dengan toxic positivity. Menurutnya, seseorang yang berempati itu akan berusaha memahami perasaan kamu. Tapi, seseorang dengan toxic positivity biasanya hanya akan membicarakan tentang dirinya sendiri. Misalnya saat kamu mengalami masalah, lalu temanmu hanya menceritakan tentang dirinya jika mengalami masalah itu tanpa memperhatikan perasaanmu.

“Jadi kalau ada orang yang sering ngomong ‘ya niat aku kan baik’. Hello… kamu harus tahu, kalau niatan kamu baik, please jangan jadi orang dengan toxic positifity, niatan yang baik itu juga harus dipikirkan dampaknya. Ketika kamu berniat baik, dampaknya apa buat orang lain. Ketika kamu memikirkan dampaknya, kamu jadi orang yang considerate, nah ketika kamu jaid orang seperti itu jadi kamu gak nyusahin orang lain. Jadi jangan sampai ketika kita berbuat kesalahan, kita berlindung di balik ‘niatan baik’ itu,” tuntas Zoya.

Nah Beauty, menyemangati dan mendukung orang yang sedang mengalami masalah itu perlu, tapi jangan sampai penyemangat kita justru menjadi ‘racun’ bagi orang lain ya!!