Menu

Kata Ahli Soal Masalah Makan pada Batita dan Cara Menghadapinya: Intinya 'Children See, Children Do'!

01 Desember 2021 15:55 WIB

Prof. Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif, Sp.A(K), selaku Pakar Nutrisi dan Penyakit Metabolik Anak. (Riana/HerStory)

HerStory, Jakarta —

Moms, salah satu keluhan yang sering diutarakan orang tua, terutamayang memiliki anak batita atau usia 1 s.d 3 tahun, adalah anak susah makan. Jika sudah begitu, tentu akan memunculkan kekhawatiran soal kecukupan gizi dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan anak.

Menurut Prof. Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif, Sp.A(K), selaku Pakar Nutrisi dan Penyakit Metabolik Anak, yang khas dari perilaku makan batita ini adalah sering menolak makan atau istilahnya food refusal, dan ini termasuk fase yang normal. Prof. Damayanti juga menyebut, sebagian batita dapat melewati fase ini tanpa masalah.

Dikatakan Prof. Damayanti, jumlah makanan yang dikonsumsi batita ini sangat bervariasi dari hari ke hari. Batita mungkin mengonsumsi makanan lebih sedikit dari batita lain seumurnya. Nah jika tumbuh kembanganya baik, berarti asupan nutrisinya sesui dengan kebutuhannya. Namun, beberapa orang tua sangat cemas jika batita memiliki masalah dalam perilaku makannya. Sehingga, batita sendiri bereaksi dengan mengurangi makanannya atau istilahnya disebut negativistic.

“Seperti kita tahu, kenaikan berat badan bayi umur 2 bulan itu bisa 5 kali lipat, akibatnya memang anak kelihatanya tidak perlu makan banyak. Lalu seiring umur bertambah, kemudian ada fase dimana anak tidak mengalami kenaikan berat badan. Dan itu normal ya, karena itu sudah masuk fase eksploratif. Nah kalau si anak tumbuh kembangnya baik, aktivitasnya bagus, dengan catatan sesuai aturan ya. Tapi kalau si anak mengalami weight faltering atau  istilahnya berat badannya tidak bertambah secepat yang diharapkan untuk usia dan jenis kelamin mereka, bahkan dalam beberapa kasus,  berat badannya justru turun, maka dia akan cenderung bereaksi mengurangi makanannya, dan itu namanya fase negativistic, jadi si anak masuk tahap mandiri. Apa yang disuruh orang tuanya, dia lawan. Nah akibatnya terjadilah konflik. Inilah yang bikin orang tuanya pusing,” tutur Prof. Damayanti, saat webinar Meet the Professors, sebagaimana dipantau HerStory, belum lama ini.

Prof. Damayanti menegaskan, kondisi weight faltering paling sering terjadi pada bayi yang masih berada dalam periode ASI eksklusif. Secara kasat mata, bayi yang mengalami weight faltering terlihat sama dengan bayi pada umumnya, namun kondisi ini tidak bisa disepelekan. Jika berlarut, weight faltering dapat meningkatkan risiko stunting pada anak.

Karena itu, Moms sebagai orang tua harus mewaspadai gejalanya dan segera berkonsultasi pada dokter saat kenaikan berat badan si kecil begitu lambat, tidak ada penambahan berat badan, atau bahkan berat badannya turun. 

Prof. Damayanti melanjutkan, satu lagi hal yang baru yang harus diketahui orang tua bahwa anak di usia batita ini dia akan mengalami fase yang namanya neophobia. Dimana, dia akan menolak konsumsi makanan yang dikenal baru.

“Neophobia adalah anak menolak makanan baru atau makanan yang tidak dikenalnya. Sebenarnya, hal ini bagus untuk menghindari anak keracunan saat anak sudah mampu memilih makanannya sendiri tanpa pengawasan orang tua. Jadi neopobhia ini adalah suatu proses evolusi. Dan ini proses normal. Namun, bila kondisi ini berkelanjutan akan menimbulkan perilaku anak memilih-milih makanan (picky eater),” ujar Prof. Damayanti.

Lalu, bagaimana cara kita sebagai orang tua menghadapi anak yang susah makan?

“Intinya adalah children see, children do,’ anak akan mencontoh apa yang diperbuat oleh orang tuanya, sehingga bila ibu ingin anak senang mengonsumsi sayur dan buah cobalah untuk memperlihatkan kesenanganmu sebagai orang tua terhadap sayur dan buah. Kemudian, berikan anak makanan baru dalam porsi kecil dan diletakkan agar ia dapat menjangkaunya sendiri. Bila anak tetap menolak makanan baru, jangan menyerah, kenalkan kembali terhadap makanan tersebut 15-20 kali. Jadi untuk menyukai makanan yang belum dikenalnya, anak ini perlu mencicipi 15 sampai 20 kali untuk belajar menyukainya sehingga diperlukan pemberian makanan berulang. Terakhir, orang tua sebaiknya tetap tenang dan tidak panik saat anak menolak makanan baru,” beber Prof. Damayanti.

“Jadi kalau anak-anak di usia batita ini dia gak mau makanan yang diberikan, itu orang tua jangan putus asa. Kenalkan terus, dengan catatan gak dipaksa ya, sampai 20 kali istilahnya. Kalau dia gak mau juga, baru deh kita ganti makanannya,” tuntas Prof. Damayanti.

Artikel Pilihan