Menu

Ahli Wanti-wanti Jangan Asal Minum Antibiotik, Ini Bahayanya Moms! Asli Ngeri…

05 November 2021 12:40 WIB

Para narasumber yang mengisi webinar peringatan World Antibiotic Awareness Week 2021 dengan tajuk: #TUNTASBERITUNTASPAKAI: Kebijakan Peresepan dan Praktik Penjualan dan Konsumsi Antibiotik di Indonesia, Jumat (5/11/2021). (Riana/HerStory)

HerStory, Bogor —

Moms, pasti kamu udah familiar dong dengan antibiotik? Antibiotik adalah obat yang ditujukan untuk mengatasi atau mencegah infeksi penyakit yang disebabkan oleh bakteri.

Nah perlu diingat ya Moms, konsumsi antibiotik ini harus sesuai petunjuk dokter dan juga harus dihabiskan tepat waktu.

Jika kita gak menghabiskan antibiotik yang diresepkan ataupun mengonsumsinya secara jangka panjang, otomatis dapat membuat bakteri menjadi resisten (kebal) lho Moms. Akibatnya, resistensi antibiotik bisa membuat bakteri jadi lebih kuat di tubuh.

Nah, selain membahayakan kesehatan, penggunaan antibiotik yang tak sesuai dengan rekomendasi dokter yang merupakan salah satu penyumbang terbesar Angka Resistensi Antimikroba (AMR) di dunia kesehatan, Moms. Hal ini menjadikan AMR salah satu dari 10 ancaman kesehatan global yang paling berbahaya di dunia.

Berdasarkan data WHO, penggunaan antibiotik meningkat 91 persen secara global dan meningkat 165 persen di negaranegara berkembang pada periode 2000-2015. Implikasi dari AMR adalah sulitnya penyembuhan penyakit dan semakin tingginya biaya kesehatan. Dengan kata lain, resistensi ini menyebabkan peningkatan biaya pengobatan, waktu pengobatan dan rawat inap yang lebih lama, dan angka kematian yang lebih tinggi.

Menurut penelitian dari European Observatory on Health Systems and Policies mengatakan bahwa rata-rata biaya perawatan yang dikeluarkan oleh pasien yang non-resistan terhadap bakteri Escherichia coli adalah sebesar USD 10.400 atau sekitar Rp 149 juta, sedangkan bagi pasien yang resistan nilainya bertambah sebanyak USD 6.000 atau sekitar Rp 86 juta, yang meliputi biaya perawatan, diagnosa, obat-obatan, dan layanan pendukung lainnya..

Karenanya, hal ini pun mendorong Indonesia One Health University Network (INDOHUN) bekerja sama dengan Pfizer Indonesia untuk mengadakan webinar dalam rangka peringatan World Antibiotic Awareness Week 2021 dengan tajuk: #TUNTASBERITUNTASPAKAI: Kebijakan Peresepan dan Praktik Penjualan dan Konsumsi Antibiotik di Indonesia.

Prof. dr. Agus Suwandono, MPH., Dr.PH., selaku Koordinator INDOHUN, dalam sambutannya mengatakan, berdasarkan data dari WHO, selama 15 tahun terakhir, penggunaan antibiotik meningkat sampai 91% secara global dan di negara berkembang sendiri meningkat hingga 165%. Peningkatan tajam ini membuat AMR masuk ke dalam 10 ancaman kesehatan global paling berbahaya di dunia dan perlu ditangani dengan baik.

“Indonesia sendiri sudah menetapkan kebijakan berupa Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di rumah sakit-rumah sakit melalui Permenkes No.8 Tahun 2015 dan juga terdapat beberapa peraturan penggunaan antibiotik di luar rumah sakit.  Selanjutnya, tak hanya peran pemerintah yang diperlukan dalam penanganan AMR. Sama seperti pandemi Covid-19, program-program pemerintah akan berhasil jika didukung juga oleh masyarakyat,” kata Prof. Agus, saat sesi webinar sebagaimana dipantau HerStory, Jumat (5/11/2021).

Menurut Prof. Agus, kontribusi masyarakat dalam pencegahan dan penanganan AMR diperlukan, yaitu dalam menggunakan antibiotik secara bijak, rasional berdasarkan resep dokter, dan tuntas sesuai petunjuk dokter sehingga angka kesembuhan meningkat dan mencegah kejadian resistansi.

Di kesempatan yang sama, Dr. dr. Harry Parathon, Sp.OG(K), selaku Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) RI Periode 2014-2021, mengatakan, banyaknya penjualan antibiotik tanpa resep yang kerap terjadi di Indonesia merupakan salah faktor pemicu AMR.

dr. Harry bilang, peraturan mengenai penjualan obat antibiotik diatur dalam UU Obat Keras tahun 1949 di mana disebutkan bahwa yang berwenang untuk meresepkan obat antibiotik hanyalah Dokter, Dokter Gigi, dan Dokter Hewan.

“UU Obat keras tersebut menyatakan bahwa obat keras adalah obat-obatan yang tidak digunakan untuk keperluan tehnik, mempunyai khasiat mengobati, menguatkan, mendesinfeksikan tubuh manusia, baik dalam bungkusan maupun tidak. Selain itu disebutkan juga bahwa pada bungkus luar obat keras harus dicantumkan tanda khusus ini berupa kalimat ‘Harus dengan resep dokter’ yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 197/A/SK/77 tanggal 15 Maret 1977,” tambahnya.

Selanjutnya, dr. Harry menjelaskan, untuk menghambat laju AMR, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Penatagunaan Antimikroba (PGA) yang didasari oleh Permenkes no 8/2015 tentang implementasi PPRA di rumah sakit, yang bertujuan untuk meningkatkan kesembuhan pasien, mencegah dan mengendalikan resistansi antimikroba, menurunkan angka kejadian rawat inap berkepanjangan, dan menurunkan kuantitas penggunaan antimikroba.

“Tim dari PGA ini berfungsi untuk membantu pelayanan kesehatan di rumah sakit dalam menerapkan penggunaan antimikroba secara bijak dan mendampingi dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) dalam menetapkan diagnosis penyakit infeksi, memilih jenis antimikroba, dosis, rute, saat dan lama pemberian. Sedangkan tugas dari DPJP adalah menegakkan diagnosis infeksi bakteri, memberikan antimikroba sesuai dengan panduan pelayanan klinik, dan bekerja sama dengan Tim PGA KSM dan Tim PGA KPRA-RS,” bebernya.

“Menurut data dari pengeluaran unit farmasi pada tahun 2019, penggunaan meropenem satu gram di RSDS, Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo, pada bulan November 2019 mulai mengalami penurunan setelah diluncurkannya PGA pada bulan Oktober 2019. Selain itu, bakteri resistan terhadap karbapenem yang sebelumnya berada di angka 17.19% pada bulan Oktober 2019, turun menjadi 10.94% pada bulan November dan 3.13% pada bulan Desember,” jelasnya.

Kemudian,  Prof. dr. Tri Wibawa, PhD, SpMK(K), selaku Guru Besar FKKMK Universitas Gadjah Mada, mengatakan, di Indonesia sendiri, antibiotik dipercaya sebagai obat yang manjur untuk segala jenis penyakit mulai dari demam sampai nyeri sendi.

Ya, antibiotik ini dapat dibeli di apotek, toko obat, dan bahkan warung yang tersebar di seluruh Indonesia. Kata Prof. Tri, masyarakat seringkali membeli obat di tempat-tempat ini sebagai bentuk pertolongan pertama pada penyakit ringan karena letaknya yang strategis, terpercaya, dapat diperoleh pada malam hari, dan memberikan akses yang mudah kepada obat-obatan esensial seperti antibiotik.

“Obat-obat ini seringkali dijual tanpa resep. Pasien menganggap bahwa pengobatan mandiri dengan membeli obat di apotek atau toko obat lebih mudah dan hemat biaya. Hal ini merupakan salah satu faktor yang membuat permintaan antibiotik sangat tinggi. Di sisi lain, antibiotik dapat dibeli dengan mudah, sehingga dapat menjadi pemicu berkembangan Antimicrobial Resistance (AMR) di Indonesia,” jelas Prof. Tri.

Prof. Tri lantas memaparkan, menurut penelitian yang telah dilakukan pada apotek dan toko obat di daerah perkotaan dan pedesaan di Indonesia, menemukan bahwa masyarakat dapat membeli antibiotik tanpa resep (proporsinya dapat mencapai dua dari tiga kunjungan). Meskipun antibiotik lini pertama seperti amoksisilin dan kotrimoksazol adalah antibiotik yang paling banyak diberikan, tapi  kekhawatiran bahwa antibiotik lini kedua termasuk sefalosporin juga diberikan tanpa resep.

“Hasil penelitian juga menunjukan bahwa konsultasi di toko obat seringkali tidak memadai. Seringkali antibiotik diberikan tanpa petunjuk penggunaan yang benar. Meskipun peraturan tentang penjualan antibiotik di Indonesia sudah jelas, tetapi dalam praktik, penjualan antibiotik tanpa resep ini masih banyak ditemukan di Indonesia, khususnya pada toko obat yang tidak resmi,” tambahnya.

Prof. Tri juga mengatakan, untuk mengatasi berbagai hal tersebut, penguatan implementasi regulasi merupakan salah satu cara untuk mengendalikan peredaran antibotik di masyarakat yang dapat berlaku sebagai pemicu resistensi antibiotik.

“Namun hal ini saja tak cukup untuk menyelesaikan keseluruhan masalah resistensi antimikroba. Pendekatan multi aspek perlu dilakukan untuk menyelesaikan persoalan ini, dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang menjadi pendorong praktik penjualan antibotik tanpa resep ini, seperti motivasi untuk memaksimalkan keuntungan dari toko-toko obat, tingginya permintaan antibiotik dari pelanggan, dan dorongan dari pemilik untuk bersaing dengan toko lainnya,” tuntasnya.

Nah, mulai sekarang bijaknya saat mengonsumsi antibiotik ya Moms. Semoga informasinya bermanfaat ya!