Ilustrasi Penyakit Lupus (Shutterstock/Edited By HerStory)
Beauty, penyakit Lupus Eritematosus Sistemik (LES) atau Lupus dapat menyerang siapa saja, namun sebagian besar ditemukan pada wanita usia produktif antara 15 hingga 45 tahun. Nah, penyakit ini perlu diwaspadai ya, sebab diagnosisnya tak mudah dan sering kali terlambat.
Menurut Dr. dr. Cesarius Singgih Wahono, SpPD-KR, sulitnya diagnosis penyakit Lupus, menyebabkan penderitanya harus menjalani sejumlah pemeriksaan.
“Biasanya, dokter akan mulai dari penggalian informasi mengenai gejala dan riwayat kesehatan pasien dan keluarga. Selanjutnya, akan dilakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh pada pasien, termasuk memeriksa ada tidaknya ruam dan peradangan sendi yang biasanya sering muncul pada penderita Lupus,” tutur dr. Singgih, saat acara media briefing virtual “Dampak Panjang Covid-19 dan Seberapa Perlu Vaksinasi Covid-19 pada Pasien Lupus”, sebagaimana dipantau HerStory, Selasa (14/12/2021).
Nah Beauty, diagnosis LES ini dibuat berdasarkan kombinasi manifestasi klinis pada penyakit lupus yang khas serta hasil serologi positif. Adapun, pemeriksaan penunjang seperti screening lanjutan akan dilakukan juga untuk memudahkan dokter membuat diagnosis yang tepat, di antaranya yaitu:
Gak berhenti di situ, dokter juga akan melakukan pemeriksaan fisik untuk memeriksa tanda dan gejala khas penyakit lupus, seperti:
Tak hanya itu, ada kemungkinan dokter juga akan merujuk pasien ke rheumatologist, yaitu dokter yang khusus mengobati gangguan persendian dan jaringan lunak serta penyakit autoimun.
Lalu, bagaimana pengobatan penyakit Lupus?
Pengobatan bagi penderita Lupus sendiri akan tergantung dari gejala serta kebutuhan masing-masing pasien. Setidaknya, perawatan tersebut dilakukan dengan menggunakan obat yang difokuskan untuk mengurangi pembengkakan dan rasa sakit, menenangkan daya tahan tubuh agar tidak menyerang organ dan jaringan tubuh, mengurangi atau mencegah kerusakan pada sendi, serta engurangi atau mencegah kerusakan organ.
Berikut ini merupakan beberapa jenis obat-obatan yang biasa digunakan untuk mengobati Lupus, antara lain:
Steroid oral seperti prednison dan prednisolon dapat menjadi pengobatan yang sangat membantu penderita. Terutamanya pada serangan lupus serius yang mempengaruhi organ seperti ginjal, steroid dalam dosis tinggi dapat dengan cepat mengontrol gejala yang terjadi.
Obat ini dikenal juga dengan antimalarial drug yang digunakan untuk mengobati penyakit malaria, di mana para peneliti menemukan bahwa obat ini juga dapat membantu perawatan penyakit lupus.
Obat ini bekerja dengan baik dengan kasus Lupus ringan hingga sedang, membantu meringankan gejala seperti pembengkakan sendi dan ruam kulit. Tetapi perlu dicatat bahwa hydroxychloroquine tidak dapat digunakan sendiri untuk kasus lupus parah yang melibatkan ginjal atau organ lain.
Karena Lupus adalah penyakit yang disebabkan oleh sistem kekebalan yang terlalu aktif, obat-obatan yang menekan sistem kekebalan dapat membantu meringankan gejalanya, di antara lain seperti golongan kalsineurin inhibitor (siklopsorin), golongan mikofenolat, azatriopin, cyclophosphamide, dan lain-lain.
Obat-obatan tersebut umumnya digunakan sebagai steroid sparring agent pada orang yang menderita lupus sedang hingga parah.
Namun perlu diingat Beauty, bahwa Lupus dapat mempengaruhi banyak bagian tubuh yang berbeda, maka dari itu banyak pasien yang akan membutuhkan obat lain tergantung pada gejala yang diderita.
Ini bisa termasuk statin, diuretik, antikoagulan, obat untuk memperkuat tulang, obat tekanan darah, antibiotik, stimulan, dan lain sebagainya. Selain pengobatan seperti yang telah disebutkan, pasien juga disarankan untuk menerapkan pola hidup sehat, dan melakukan pengelolaan stres dengan cara yang positif.
“Targetnya pengobatan lupus ini mencapai REMISI. REMISI itu kayak sembuh, namun bisa kambuh. Atau kalau gak bisa sembuh, namun aktivitasnya yang rendah atau ringan dan untuk mencegah kekambuhan. Dan pengobatan Lupus itu tidak ada yang percis sama.Pada keadaan mengancam jiwa mungkin diperlukan dosis obat yang tinggi, misalnya kortikosteroid itu mungkin sangat tinggi sekali dosisnya,” pungkas dr. Singgih.