Menu

Kata ILO Soal Kesenjangan Kerja yang Dialami Perempuan dengan Disabilitas: Termajinalkan!

24 Desember 2021 13:00 WIB

Ilustrasi perempuan dengan disabilitas (iStockphoto/x-reflexnaja)

HerStory, Bogor —

Program Officer International Labour Organization (ILO,) Tendy Gunawan, mengungkapkan, hingga sekarang ini, kesenjangan masih terjadi antara perempuan dan laki-laki di dunia kerja. Kesenjangan ini pun makin besar dialami pada perempuan disabilitas.

“Menurut data global yang dikumpulkan dari 187 negara, terlihat jika 2/3 penyandang disabilitas yang dalam usia kerja, itu justru tidak bekerja. Dan perempuan ternyata lebih termajinalkan dibanding laki-laki. Dan hampir di setiap negara fenomenanya perempuan dengan disabilitas itu paling termarjinalkan dalam sisi akses terhadap pekerjaan. Dan menurut UU Nomor 8 dan juga Konvensi UN untuk penyandang disabilitas, disabilitas itu disebabkan karena adanya hambatan lingkungan dan perilaku. Jadi sebetulnya ini disebutnya kontruksi sosial, jadi kalau tidak ada hambatan, tidak ada kata disabilitas yang ada hanyalah keterbatasan,” beber Tendy, saat sesi webinar bertema “Satu Dekade UNGPs on BHR: Bagaimana keadaan Perempuan Disabilitas di Indonesia saat ini?,” sebagaimana dipantau HerStorybaru-baru ini.

Masalah lainnya, kata Tendy, pun menurut data statistik di berbagai negara, termasuk Indonesia, pekerja dengan disabilitas ini rata-rata mayoritas berpendidikan rendah. Sehingga kondisi ini menjadikan para pekerja, tak terkecuali pekerja perempuan dengan disabilitas, lebih termajinalkan.

“Bahkan, perbandingannya jauh sekali antara pekerja disabilitas dan nondisabilitas, di mana berarti juga dalam akses terhadap pendidikan juga masih termarjinalkan dalam pekerjaan dan juga pendidikan, dan perempuan lebih lagi (termajinalkan). Kemudian, perempuan yang bekerja juga masih mengalami diskriminasi dalam upah, juga ada stereotyping dalam jenis pekerjaan, dan juga pekerjaan tidak berbayar,” imbuh Tendy.

Tendy mengungkapkan, ada sejumlah faktor melatarbelakangi kondisi ini. Di antaranya beban pekerjaan rumah tangga tidak berbayar, perempuan keluar pangsa pasar kerja setelah menikah, stigma dalam pekerjaan yang dapat atau tidak dapat dilakukan perempuan, hingga kesenjangan upah.

“Perempuan dengan disabilitas hambatannya lebih besar lagi dikarenakan stigma dan diskriminasi dalam akses pekerjaan dikarenakan disabilitas,” ujarnya.

Dan efek pandemi ini, tak sedikit juga para pekerja perempuan yang sekarang bekerja di rumah, mereka dibebani juga oleh pekerjaan rumah tangga. Dan, kondisi ini jelas sangat rentan untuk gender based violence dan harassment.

“Jadi, dengan adanya shifting employment akibat pandemi ini, perempuan pun lebih rentan mengalami harassment dan violence. Kemudian, efek shifting employment ini juga penting diperhatikan agar lebih ramah disabilitas,” imbuhnya.

Tendy memaparkan, pada tanggal 13 Desember 2006, PBB mengeluarkan Resolusi Nomor A/61/106 mengenai Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Resolusi dari konvensi tersebut memuat hak-hak penyandang disabilitas dan menyatakan akan diambil langkah-langkah untuk menjamin pelaksanaan konvensi ini.

Adapun, konvensi ini memastikan agar penyandang disabilitas mendapatkan penikmatan penuh atas semua hak-hak asasi manusia dan kebebasan fundamental. Tak berhenti di situ, konvensi ini pun memberikan pengakuan universal terhadap martabat penyandang disabilitas. Adapun, prinsip-prinsip umum yang dicakup dalam Konvensi termasuk partisipasi dan pelibatan penuh dan efektif, kesempatan yang sama, pelibatan, non-diskriminasi dan aksesibilitas.

“Konvensi ini menandai sebuah ‘pergeseran paradigma’ dalam perilaku dan pendekatan terhadap para penyandang disabilitas. Para penyandang disabilitas tidak dilihat sebagai obyek kegiatan amal, perlakuan medis, dan perlindungan sosial, namun dilihat sebagai manusia yang memiliki hak yang mampu mendapatkan hak-hak itu serta membuat keputusan terhadap hidup mereka sesuai dengan keinginan dan ijin yang mereka berikan seperti halnya anggota masyarakat lainnya,” terang Tendy.

Lebih jauh, Tendy pun memaparkan alasan kenapa ILO mendukung konvensi ini terutama untuk perempuan bekerja di digital sector.

“Pertama karena proporsi wanita dalam ekosistem itu sangat rendah di Indonesia itu hanya sekitar 55% partisipasi perempuan dalam angkatan kerja. Terlebih lagi mereka bekerja di pekerjaan yang nonteknis, di mana pekerjan teknis ini tumbuh. Jadi kita harus mendorong perempuan untuk bekerja di digital sector. Dan yang kedua ini juga kesempatan untuk penyandang disabilitas karena pandemi ini seperti kita ketahui bahwa kita bekerja dari rumah, dan itu menghilangkan hambatan transportasi sebetulnya untuk mobilitas dari penyandang disabilitas. Jadi ini kesempatan yang besar juga untuk membantu teman-teman yang disabilitas untuk menangkap pekerjaan yang dilakukan secara online,” bebernya.

Terakhir, Tendy pun menuturkan bahwa pihaknya juga mendorong pembangunan digitaling bisnis dan disabilitas.

“Kami mendorong perusahaan dan teman-teman komunitas seperti NGO, lembaga-lembaga pelatihan untuk bergabung supaya suplay dan demand pekerjaan ini bisa bertemu,” tandasnya.