Menu

Kata Psikolog Soal Pentingnya Menanamkan Pola Pikir Pro-Growth dan Memuji Anak

05 Januari 2022 16:26 WIB

ilustrasi ibu dan anak (Unsplash/Edward Cisneros)

HerStory, Bogor —

Psikolog Anak dan Remaja dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, menuturkan bahwa orang tua dan pendidik berperan penting menanamkan pola pikir pro-growth atau pola pikir bertumbuh kepada anak sejak dini.

Adapun, kata Vera, langkah pertama yang harus dilakukan orang tua maupun pendidik adalah memiliki kepercayaan dan keyakinan terhadap pentingnya pola pikir pro-growth sebelum berbicara atau berdiskusi bersama anak.

“Jadi kita harus tahu cara agar mereka bisa appreciate small win, terus pola pikirnya juga pro-growth. Nah sebelum kita bicara sama anak, siapapun itu, entah orang tua, pendidik, atau siapapun yang terlibat dalam pendidikan anak, kita sendiri pun harus percaya akan hal itu. Kita sendiri pun gitu ya, di internal kita juga, kita percaya small win. Bahwa yang namanya berhasil tuh bisa berupa hal kecil-kecil kok gitu ya, misalnya kayak hari ini saya berhasil bangun lebih pagi 10 menit sebelum zoom sekolah dimulai misalnya. Itu juga sudah pencapaian gitu. Itu it’s the big deal,” Kata Vera, saat sesi virtual press conference Ruangguru #IniBaruJuara, sebagaimana dipantau HerStory, kemarin.

Vera melanjutkan, ketika orang tua sepenuh hati percaya akan hal itu, maka ketika bicara dengan anak, orang tua juga bisa menghindari hal-hal yang bisa menjatuhkan anaknya sendiri.Vera juga bilang, dengan menerapkan pola pikir pro-growth, secara perlahan-lahan pencapaian dalam tataran signifikan pun dapat memiliki makna yang lebih mendalam. 

“Sebagai orang tua juga kita harus dapat memberi apresiasi atas pencapaian kecil yang berhasil dilalui sang anak. Tapi ingat, ketika bicara bersama anak, kita harus bisa menghindari hal-hal yang berbau sarkas yang akhirnya bisa menjatuhkan anak. Orang tua harus menahan diri untuk tidak langsung menuntut target-target lain yang semakin memberatkan anak. Small win ini jangan diembel-embeli. Kita harus percaya betul bahwa memang yang namanya prestasi itu adalah bisa berupa crawling ya, merangkak yang step by step, tapi yang penting nyampe ke tujuannya, atau misalnya bisa ada tujuan-tujuan kecil sebelum sampai ke tujuan finalnya di akhir sana,” tutur Vera.

Lebih lanjut, kata Vera, ketika orang tua telah mempercayai dan memahami pola pikir bertumbuh serta mampu menahan diri untuk tidak menuntut target-target berat ke anak, barulah orang tua bisa mengajak anak untuk menyusun target-target kecil dalam jangka pendek.

“Nah ketika kita sudah percayakan itu, terus duduk bareng sama anak, terus ngomong ‘eh yuk kita bikin target kecil-kecil yuk, apa yang mau kamu capai dalam bulan ini, apa yang mau kamu perbaiki’, di situ kita bisa ajak anak untuk sama-sama mengembangkan diri lewat small step,” ujar Vera.

Dikatakan Vera, orang tua dan anak kemudian bisa menyusun target kecil bisa berupa hal-hal sederhana, misalnya merencanakan bangun tidur 10 menit lebih awal sebelum sekolah daring dimulai, atau bahkan bernegosiasi untuk mencapai taret mengurangi durasi bermain game dan mengalihkan diri untuk belajar.

“Hal seperti itu memang perlu dilakukan secara bertahap, small steps, dan penuh kesabaran, tidak dilakukan secara instan. Dan menurut saya, memang gak mudah untuk mengalahkan keinginan untuk bermain game itu,” bebernya.

Lebih lanjut, Vera pun mendorongpara orang tua agar tidak perlu khawatir memberikan pujian kepada anaknya. Sebabnya, anak masih membutuhkan pujian atau validasi eksternal hingga usia remaja.

Validasi ini merupakan bentuk apresiasi yang diberikan dari lingkungan sekitarnya sehingga dapat menumbuhkan motivasi pada diri mereka. Namun, yang perlu diperhatikan adalah teknik dalam memuji si anak itu sendiri, karena sebenarnya itu gak gampang.

“Jadi validasi eksternal itu penting. Dan, memang yang terjadi di usia anak-anak sampai remaja itu mereka masih butuh yang namanya validasi eksternal. Jadi biasanya, anak-anak usia segitu itu sangat terbantu, sangat terdorong kalau misalnya ada apresiasi dan lingkungan sekitarnya, berupa pujian aja, berupa di-notice aja. Makanya mungkin ada anak-anak yang memang akan semangat belajarnya kalau misalnya dijanjikan reward.Itu memang masih dibutuhkan. Nah yang harus kita ingat, bahwa walaupun mereka masih membutuhkan validasi eksternal atau motivasi dari luar diri mereka, ketika kita memberikan itu jangan lupa si motivasi internalnya atau validasi internalnya kita juga kembangkan,” paoarnya.

Lebih jauh, Vera mengingatkan orang tua agar tetap membantu menumbuhkan validasi internal. Adapun, validasi internal merupakan perasaan bangga dan semangat yang muncul melalui kesadaran di dalam dirinya sendiri tanpa harus dipicu oleh pujian orang lain. Validasi internal sendiri baru akan berkembang pada usia remaja akhir sekitar 16 hingga 18 tahun. 

“Caranya gimana? Misalnya kita puji, ‘wah hebat deh kamu sudah bisa lebih bagus nilainya. Nah itu pujiannya. Lalu kita bangkitkan validasi internalnya, seperti ‘kamu pasti bangga sama diri kamu sendiri sudah bisa berusaha sedemikian hebatnya sehingga hasilnya bisa membanggakan diri kamu juga’. Nah itu kita bangkitkan. Jadi anak itu mikir, ternyata aku nggak perlu melakukan ini dapat pujian dari orang karena itu membuat aku sendiri juga happy. Jadi intinya ,penting bisa membangun validasi internal, tapi memang ada masa tumbuh kembang, dimana memang desain awalnya tuh kita masih butuh external push atau validasi,” tandasnya.