Menu

Psikolog: Sekolah Bukan Tempat Laundry, Ortu Jangan Cuma 'Terima Bersih'

05 Januari 2022 17:30 WIB

Ilustrasi ibu yang bingung cara menolak permintaan anak. (Pinterest/Freepik)

HerStory, Bogor —

Moms, pendidikan adalah kunci utama setiap orang agar bisa menjadi seseorang yang sukses di masa depannya. Nah, peran orang tua dalam mendidik anak pun sangat penting karena juga merupakan tanggung jawab terbesarnya. 

Tapi, tak sedikit juga yang saat ini memiliki mindset bahwa pendidikan hanya seputar akademis yang didapatkan dari instansi seperti sekolah. Dan disayangkan juga, mindset tersebut juga banyak tertanam pada para orang tua di Indonesia. Ya, tak jarang orang tua menyerahkan keberhasilan anaknya pada sekolah.

Terkait hal itu, Psikolog Anak dan Remaja dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, menyebut, sekolah bukanlah tempat laundry, sehingga orang tua bisa dengan gampang menyerahkan anak kepada sekolah dan menerima hasil bersih. Ia pun menegaskan, orang tua gak bisa seenaknya lepas tangan terkait mendidik anak.

“Sekolah atau lembaga pendidikan apapun itu bukan tempat laundry, jadi kita anter cuci yang kotor, lalu terima bersih. Kita gak ikutan proses nyucinya, dll. Nah sekolah itu bukan seperti itu. Even platform-platform pendidikan yang banyak secara digital juga. Kita sebagai orang tua gak bisa lepas tangan. Banyak penelitian yang justru bilang bahwa improvement dari orang tua atau keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak itu justru mendukung kesuksesan anak. Jadi mau sebagus apapun sekolahnya, tapi kalau orang tuanya tidak ada perhatian atau tidak terlibat itu anak nantinya belum tentu berhasil juga, karena keberhasilan salah satunya ditentukan oleh keterlibatan orang tua tadi,” kata Vera, saat sesi virtual press conference Ruangguru #IniBaruJuara, sebagaimana dipantau HerStory, kemarin.

Vera pun menilai, orang tua mungkin bisa mendelegasikan pengajaran kepada kaum ahli, tetapi pendidikan anak tetaplah menjadi tanggung jawab orang tua. Kata dia, peran orang tua tidak tergantikan oleh sekolah, lembaga pendidikan, ataupun lembaga bakat.

Karenanya, Vera pun mendorong orang tua agar terlibat dalam mendidik anak, bukan dengan ikut memberikan materi-materi akademis. Akan tetapi dengan memberikan pendidikan di luar akademisi misalnya membangun kepribadian. Simple-nya adalah duduk bersama dan bertanya bagaimana anak menjalani hari-harinya.

“Nah, kalau ditanya keterlibatan orang tua itu sejauh mana? Apakah harus duduk di samping anak mengajari anak pelajaran, apakah orang tuanya jadi harus pinter kimia, matematika dan sebagainya gitu juga, apakah seperti itu? Ya, kalau seperti itu saya juga nyerah jadi ibu. Jadi,keterlibatan orang tua itu simple-nya cukup kayak menemani anak belajar, duduk berdua sama anak ngobrolin ‘gimana kamu hari ini, apa yang asik, apa yang nyebelin hari ini’, seperti itu misalnya. Nanyanya juga jangan ‘ada PR gak, dapat berapa hari ini, naik gak nilainya’, jangan gitu. Keterlibatan orang tua juga bisa sesimpel kayak nyiapin cemilan, jadi ada atensi, ada interest tentang apa yang sedang dilakukan anak, dll,” saran Vera.

Lebih lanjut, Vera pun menyarankan orang tua dan pendidik untuk membantu menanamkan pola pikir pro-growth atau pola pikir tumbuh sejak dini kepada anak-anak, sehingga makna kesuksesan dan prestasi diukur dari setiap pencapaian apa pun demi kebaikan diri.

“Orang tua dan pendidik patut menuntun anak-anak sehingga dapat menanamkan pola pikir yang mengakui segala bentuk pencapaian, bukan hanya demi kebaikan diri tetapi juga untuk membangun rasa percaya diri mereka. Sehingga perlahan-lahan, pencapaian signifikan pun memiliki makna yang lebih mendalam,” tutur Vera.

Selain itu, lanjut Vera, orang tua dan pendidik juga secara tidak langsung harus 'menjadi penjaga' fungsi pre-frontal cortex pada remaja. Tujuannya, untuk mengoptimalkan fungsi otak, orang tua bisa membantu anak melalui diskusi mengenai konsekuensi jangka pendek dan panjang saat memilih jurusan tertentu.

Fyi Moms, pre-frontal cortex sendiri adalah bagian terdepan dari cerebral cortex di otak manusia. Pre-frontal cortex bertanggung jawab dalam hal-hal yang berkaitan dengan perilaku manusia seperti perhatian (attention), perencanaan (planning), memori kerja (working memory), pengekspresian emosi, dan perilaku sosial yang sesuai norma di masyarakat.

“Jadi, pre-frontal cortex ini memang baru terbukti berfungsi optimal itu di usia 20-25 tahunan. Jadi sebelum anak mencapai usia itu, memang keputusan, perilaku, itu dipengaruhi oleh emosi. Sehingga tadi, tidak mudah untuk mengalahkan keinginan anak untuk misalnya main game, itu kan asik. Beda halnya dengan belajar, itu berat banget pasti gitu. Jadi dengan mengalahkan itu saja, anak remaja ini sudah berjuang supaya pre-frontal cortex bisa berfungsi lebih optimal. Nah, tugasnya kita sebagai orang tua dan pendidik, kita harus jadi rem pre-frontal cortexnya si anak ini, untuk melihat pilihan yang ada beserta konsekuensinya masing-masing. Nah itu orang tua berperan di situ, jadi butuh diskusi sama anak. Banyak orang tua mungkin tidak sabar untuk melalui proses ini. Jadi yang bisa dilakukan dalam membantu anak adalah melihat pilihan apa saja, beserta konsekuensinya apa, termasuk hal-hal lainnya,” pungkas Vera.