Menu

Mengenal Pre-Frontal Cortex: ‘Biang Kerok’ di Balik Gejolak Emosi Remaja, Begini Penjelasan Psikolog

06 Januari 2022 09:30 WIB

Kedekatan seorang ibu dan anak remajanya. (Pinterest/Freepik)

HerStory, Bogor —

Moms, apakah kamu punya anak remaja yang sekiranya saat ini sulit diatur? Ya, masa-masa remaja adalah masa eksplorasi diri. Di fase ini, remaja umumnya juga cenderung memiliki mood yang naik turun atau tak stabil.

Menurut Psikolog Anak dan Remaja, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, fenomena ini terjadi karena bagian otak yang disebut pre-frontal cortex, pada anak remaja belum terbentuk sempurna.

Fyi Moms, pre-frontal cortex adalah salah satu bagian otak manusia, yang dianggap sebagai pusat kepribadian, punya tugas eksekutif untuk membuat keputusan dan kemampuan menyelesaikan masalah.

“Kalau kita bicara soal remaja nih, itu ada bagian otak namanya pre-frontal cortex. Nah di remaja ini, pre-frontal cortex belum berfungsi secara optimal. Bagian inilah yang membantu kita untuk mengambil keputusan atau melakukan fungsi-fungsi berpikir yang tingkat tinggi yang eksekutif, yang memikirkan efek jangka panjang,” kata Vera, saat sesi virtual press conference Ruangguru #IniBaruJuara, sebagaimana dipantau HerStory, belum lama ini.

Karena itulah, Vera mengaku tak heran apabila perilaku dan keputusan yang dilakukan anak remaja lebih banyak dipengaruhi emosi. Sebab kata dia, fungsi pre-frontal cortex sendiri baru berkembang secara optimal ketika seseorang menginjak usia 20 hingga 25 tahun.

“Jadi pre-frontal cortex ini baru berfungsi optimal saat menginjak usia 20-25 tahunan. That’s why kalau kita berpikir ke belakang, ketika masih berusia belasan tahun gitu, pasti ada hal-hal yang kita sekarang pikirkan ‘Kok saya bisa ya dulu melakukan itu’, ya itu karena pre-frontal cortex kita saat remaja memang belum optimal. Sehingga perilaku keputusan lebih banyak dipengaruhi oleh emosi,” papar Vera.

Vera menuturkan, salah satu contoh kasus yang biasanya banyak dialami remaja, yakni bermain game online. Alih-alih mengerjakan tugas sekolah atau belajar, mereka lebih gemar menghabiskan waktu untuk bermain game.

“Main game itu kan asik, itu emosi semua dapatnya. Perasaan senang dan pleasure semua ada di situ. Coba bandingkan dengan belajar, nah itu berat banget,” bebrnya.

Karenanya, kata Vera, untuk melakukan transisi dari kecanduan bermain game hingga anak memiliki kesadaran untuk belajar harus dimulai dari perubahan-perubahan dan target-target kecil yang dilakukan secara konsisten dengan didampingi oleh orang tua.

“Jadi yang kita tekankan adalah bagaimana anak ini bisa mengendalikan keinginan untuk main game itu ya. Sebenarnya dengan mengalahkan (keinginan) itu saja, dia sudah berjuang supaya pre-frontal cortexnya bisa berfungsi lebih optimal. Kemudian, orang tua disarankan harus bisa mengapresiasi ketika anak berusaha mengalahkan emosinya saat bermain game, meski yang dilakukannya terkesan sepele. Terus, lakukan selebrasi untuk menghargai usaha anak, itu juga bisa meningkatkan kepercayaan dirinya,” tutur Vera.

Selanjutnya, Vera juga memberikan contoh lain, biasanya remaja juga mengalami kesulitan ketika mempertimbangkan dan memilih jurusan kuliah. Nah, ketika sisi emosi yang dikedepankan dalam pengambilan keputusan, maka jangan kaget kalau remaja jelang usia 20 tahun kadang kala merasa salah mengambil jurusan.

“Nah, yang kedua tentang perkembangan pre-frontal cortex adalah dalam memilih jurusan. Jadi bener banget, jadi pre-frontal cortex ini memang baru terbukti berfungsi optimal itu di usia 20 tahunan. Jadi sebelum itu memang keputusan, perilaku, itu dipengaruhi oleh emosi. Jadi tidak mengherankan ketika misalnya satu anak remaja tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Nah itu karena tersentil emosinya, pre-frontal cortexnya tidak bisa menahan hal itu, bahasa awamnya mungkin rasio ya, jadi fungsi untuk berpikir konsekuensinya gak jalan,” imbuh Vera.

“Nah ini juga seringkali terjadi dalam memilih jurusan. Ada anak yang memilih jurusan yang penting masuk negeri, atau kerjanya gampang, atau ada idolanya di situ, jadi emosi yang bermain. Atau keinginan orang tuanya yang masuk ke sana. Jadi banyak sekali yang di tahun pertama terus keluar, pindah-pindah jurusan,” tambah Vera.

Terkait kasus seperti itu, Vera pun mendorong orang tua dan pendidik agar berperan langsung “menjadi penjaga” fungsi pre- frontal cortex pada remaja. Kongkretnya, denganm melakukan diskusi dengan anak, membahas mengenai konsekuensi jangka pendek dan panjang saat mereka memilih jurusan tertentu.

“Nah, terus bagaimana caranya supaya itu diminimalisir? Kita sebagai orang tua dan pendidik juga bisa ambil bagian dari situ, kita berfungsi sebagai ‘penjaga’ si pre-frontal cortexnya ini. Jadi kita tuh yang ngerem, misalnya ‘eh tunggu, jangan langsung pilih dulu. Oke kita bahas yuk pilihan kamu apa aja nih,’. Dibahaslah satu-satu. Jadi, tugasnya kita atau ‘penjaga’ pre-frontal cortex ini kan adalah untuk melihat pilihan yang ada beserta konsekuensinya masing-masing. Nah itu orang tua berperan di situ, jadi butuh diskusi sama anak,” imbuh Vera.

Yang perlu jadi catatan untuk orang tua, saat berdiskusi dengan anak, kata Vera, orang tua perlu menjaga kesabaran diri sendiri, karena pengambilan keputusan pada remaja memang membutuhkan waktu yang panjang.

“Banyak orang tua mungkin tidak sabar untuk melalui proses ini karena umur kita sudah lebih tua secara angka, jadi sudah lebih tahu apa yang mesti dilakukan. Kalau tidak sabar, orang tua malah jadi short cut, ‘Sudah kamu ambil yang ini saja’, padahal belum tentu sesuai dengan hati sang anak. Jadi yang bisa dilakukan dalam membantu anak adalah melihat pilihan apa saja, beserta konsekuensinya apa, termasuk nanti bidang-bidangnya di jurusan yang bakal dipilih itu apa saja,” pungkas Vera.